Selasa, 26 Oktober 2010

DAFTAR BLOG

Mewaspadai Gerakan Politik Islam Radikal HTI
November 23rd, 2011 Luqman Firmansyah

Mewaspadai Gerakan Politik Islam Radikal

Hizbut Tahrir Indonesia

Kalimatu l’Haq, uridu biha l’bathil. Kalimatnya benar, tetapi digunakan untuk tujuan yang tidak benar. Pepatah itu mungkin dapat mewakili penjelasan terhadap maraknya fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) yang mengatasnamakan Islam. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok Islam garis keras yang saat ini sedang mempropagandakan paham ajarannya kepada masyarakat, termasuk warga NU hingga ke desa-desa. Bagaimana gerakan ini muncul dan didirikan? Apa misi yang diembannya, serta apa saja penyimpangan yang harus diwaspadai? Tulisan ini dimaksudkan sebagai pembinaan internal terkait pembentengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap warga dan pengurus Nadhlatul Ulama’.

***

Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari jaringan internasional Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 di Jerussalem. Pendirinya adalah Taqiyuddin Al-Nabhani bersama para koleganya yang merupakan sempalan dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Al-Nabhani sendiri adalah lulusan Al-Azhar Mesir yang berprofesi sebagai guru sekolah agama dan hakim. Ia berasal dari Ijzim, Palestina Utara.

Hizbut Tahrir menahbiskan dirinya sebagai partai politik dengan Islam sebagai ideologinya dan kebangkitan bangsa Islam sebagai tujuannya. Meskipun selalu mengusung nama Islam, syari’ah dan dakwah, namun secara tegas, mereka mengatakan bukan sebagai organisasi kerohanian (seperti jam’iyyah thoriqoh), bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan bukan pula lembaga social kemasyarakatan (Brosur HTI: Mengenal Gerakan Dakwah Internasional Hizbut Tahrir, DPP HTI, Jakarta, 2007). Hal ini jelas berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang ditegaskan sebagai jam’iyyah diniyyah-ijtima’iyyah (organisasi keagamaan-kemasyarakatan) dan bukan organisasi politik.

Sistem keanggotaan merupakan ciri khas dari organisasi ini. Untuk mencapai tujuannya, para pemimpin organisasi ini mengambil bahan-bahan ideologis, yang mengikat anggotanya. Pada pelajar sekolah menengah, mahasiswa, serta para sarjana mendominasi latar belakang anggota organisasi ini. Namun tahun-tahun belakangan, organisasi ini telah menyebarkan target rekrutmen anggota ke masyarakat umum, khususnya pedesaan, termasuk kepada anggota dan warga Nahdlatul Ulama’.

Modus penyebaran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengenalan, penyebaran dan pembai’atan (indoktrinasi) ide-ide dan pemikiran Hizbut Tahrir kepada masyarakat umum. Untuk menyebarkan itu, mereka giat mencetak dan menyebarkan media informasi yang dibagikan secara gratis dan berkala sebagaimana Buletin Dakwah Al-Islam yang disebarkan ke masjid-masjid, organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka juga mengadakan kajian (halaqah) di masjid-masjid yang sudah berhasil ‘dikuasai’ dengan menampilkan tema-tema yang sekilas luhur sebagamana Khilafah Islamiyah, Penjajahan Bangsa Melalui Perempuan, dan sebagainya.

Selain itu, mereka aktif merekrut kader-kader militan yang tersebar hingga di kecamatan bahkan desa sebagai ‘agen’ penyebaran ide baik melalui pamflet, bulletin dan majalah maupun penjelasan langsung door to door. Mereka juga memiliki media umum, sebagaimana majalah bulanan Al Wa’ie, hingga situs internet www.hizbut-tahrir.or.id dan www.al-islam.or.id. Dalam media-media mereka, kerap mengusung slogan-slogan indah, sebagaimana dakwah Islam, khilafah Islamiyah, Kembali ke Syari’at Islam dan Menerapkan Islam Secara Menyeluruh (Islam Kaffah). Dengan berbungkus slogan tersebut, ternyata mereka banyak menuai simpati, khususnya dari warga yang tidak teliti melihat gerakan ini.

Gerakan Islam Politik-Radikal

Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara paket fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) Islamiyah mutakhir luar negeri yang masuk ke Indonesia dalam kurun dasa warsa terakhir. Dari gerakannya, jelas sekali mereka muncul dan terbentuk dari situasi politik dan perkembangan Islam di Timur Tengah, khususnya konflik Arab-Israel serta semangat anti Barat dan Amerika. Ketertindasan Islam di daerah konflik timur tengah khususnya di Palestina cukup mendorong mereka untuk membentuk pemerintahan islam internasional, yang sering disebut-disebut dengan istilah Khilafah Internasional. Dengan asumsi tersebut, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia harus dimobilisasi untuk mendukung khilafah yang nantinya akan dipimpin oleh khalifah yang akan diangkat sebagai pemimpin Islam.

Mereka menganggap kaum muslimin saat ini hidup di alam darul kufur (Negeri Kafir) hanya karena diterapkannya hukum-hukum Negara yang tidak berdasarkan Islam. Kondisi ini mereka rumuskan dengan cara menganalogkan secara sempit dengan periode Nabi SAW ketika di Makkah. Sebagai contoh, untuk Indonesia, mereka menganggap UUD 1945 dan Pancasila sebagai bagian dari hukum-hukum kufur yang oleh karena itu harus diganti, baik konstitusi dan Dasar Negara maupun pemerintahannya.

Misi inilah yang berlawanan dengan Nahdlatul Ulama’ sebagai jam’iyyah yang telah berhasil mengislamkan Indonesia sejak era walisongo. Dakwah NU lebih mengarah kepada pelaksanaan syari’at Islam bagi warganya dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Lihat Maklumat Nahdlatul Ulama Keputusan Konferensi Besar NU Tahun 2006). Bahkan melalui Muktamar NU pada tahun 1935 di Banjarmasin, NU telah menyatakan Indonesia (yang waktu itu masih dikuasai oleh penjajahan Belanda) sebagai Darul Islam (Negara yang dihuni oleh ummat Islam) dimana ada kebebasan bagi warganya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan aturan syari’at Islam, tanpa harus mempermasalahkan struktur negara.

Sebaliknya, pandangan radikal Hizbut Tahrir memaksa mereka untuk selalu memandang struktur Negara (politik) sebagai tujuan. untuk merealisasikan misinya, mereka menetapkan tiga tahapan yang bila diamati dapat dikatagorikan sebagai sebuah gerakan kudeta berbungkus Islam terhadap pemerintahan yang sah. Dimulai dengan tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqib) yang diambil dari mereka para simpatisannya, kemudian dilanjutkan tahapan berinteraksi dengan ummat (Marhalah Tafa’ul Ma’al Ummah). Kalau dua tahap itu berhasil mereka lampaui, barulah disiapkan tahapan ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan (kudeta), yang dikemas dalam bahasa Marhalah Istilam Al-Hukm. Jelas sekali, organisasi ini murni organisasi politik yang berorientasi kepada kekuasaan (walaupun dikemas dengan tema khilafah Islamiyah) sehingga tidak dapat disejajarkan dengan jam’iyah diniyyah-ijtima’iyyah sebagaimana Nahdlatul Ulama’.

Penyimpangan Ajaran dan Aqidah

Untuk mendukung misi politiknya, maka Hizbut Tahrir menggunakan pemahaman syar’I yang dapat mendukung membenarkan langkah-langkah politiknya. Salah satunya, mereka selalu mendesak kaum Muslim untuk berijtihad dalam mengkaji syari’at secara terus menerus. Mereka juga meniadakan semua bentuk ijma’ (konsensus) kecuali ijma’ para sahabat Nabi saw, dan menolak illat (alasan rasional) sebagai dasar bagi qiyas (analog).

Publikasi utama organisasi ini antara lain adalah Al-Takattu al-Hizbi (Formasi Partai), Al-Syakhsiyah al-Islamiyah (Cara Hidup Islam), Nidhom al-Islam (Tatanan Islam), Mafahim Hizbu al-Tahrir (Konsep-Konsep Partai/Organisasi Pembebasan Islam), Nidhomu al-Hukmi fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Dalam Islam), Nadharat Siyasiyah li Hizbi al-Tahrir (Refleksi-Refleksi Politis Partai Pembebasan Islam), dan Kaifa Hudimat al-Khilafah (Bagaimana Kekhilafahan Dihancurkan).

Menurut kesaksian seorang ulama’ Ahlus sunnah wal jama’ah, yakni Syech Muhamad Abdullah al-Syiby al-Ma’ruf bi al-Habasyi dalam kitabnya Al-’Aroh al-Imaniyah fi Mafasid al-Tahririyah, dikatakan Pendiri organisasi ini telah mengaku sebagai mujtahid mutlak dan melakukan penyelewengan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, serta mengingkari ijma’ di berbagai persoalan pokok agama dan persoalan furu’ agama.

Syech Muhammad juga dapat membuktikan beberapa kebathilan aqidah Hizbut Tahrir dari sisi ajaran dengan mengutip kitab mereka, yakni Kitab Syakhsiyah Islamiyah. Dalam juz l hal 71-72, disebutkan: Dan semua perbuatan manusia ini tidak ada campur tangan qodlo’ (kepastian) Allah. Karena setiap manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri”. Lebih lanjut pada halaman 74 tertulis: “Maka mengkaitkan pahala atau siksa Allah dengan hidayah atau kesesatan menunjukkan bahwa hidayah atau kesesatan adalah perbuatan manusia sendiri bukan dari Allah swt “.

Pendapat sebagaimana dalam kitab mereka merupakan pendapat kaum Qodariyah. Sementara qadariyah adalah salah satu firqah yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal jama’ah, karena bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya beliau berkata: “Sesungguhnya perkataan kaum Qodariyah adalah kufur.” Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Imam Malik bin Anas dan Imam Awza’I: “Sesungguhnya mereka itu diminta untuk bertobat, jika tidak mau maka dibunuh.”

Diriwayatkan dari Ma’mar, dari Thowus, dari ayahnya: Sesungguhnya seorang laki-laki telah berkata kepada Ibnu Abbas: “Banyak orang mengatakan perbuatan buruk bukan dengan qodar (kepastian) Allah swt.” Maka Ibnu Abbas menjawab: “Yang membedakan aku dengan pengikut Qodariyah adalah ayat ini: (sambil membacakan Al Qur’an Surat Al An’am ayat 149, yang artinya) “Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya”..

Hizbut Tahrir juga tercatat pernah berfatwa tentang pergaulan yang bertentangan dengan konsep makarimal akhlaq. Dalam salah satu edaran fatwanya, tahun 1969 mereka menulis: Tidak haram hukumnya berjalan dengan tujuan akan berzina atau berbuat mesum dengan seseorang. Yang tergolong maksiyat adalah perbuatannya”.

Selanjutnya, dalam edaran fatwa Hizbut Tahrir tertanggal 24 Rabi’ul awal 1390 H, pemimpin mereka menghalalkan berciuman meskipun disertai dengan syahwat. Sementara Dalam edaran fatwa tanggal 8 Muharam 1390 H, ditulis: Dan barang siapa mencium orang yang baru tiba dari bepergian, baik laki-laki atau perempuan, serta tidak untuk bermaksud melakukan tujuan zina, maka hukumnya adalah halal”.

Bukan itu saja, dalam hal penetapan hokum syar’i, mereka cenderung ceroboh dan menganggap enteng. Dalam kitab Al-Tafkir hal. 149, dijelaskan: Sesungguhnya apabila seseorang mampu menggali hukum dari sumbernya, maka telah menjadi mujtahid. Oleh karenaya, maka menggali hokum atau ijtihad dimungkinkan bagi siapapun, dan mudah bagi siapaun, apalagi setelah mempunyai beberapa kitab lughot (tata bahasa arab) dan fiqh Islam”. Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit (muhibbul aman/ahmad hakim jayli)

Sabtu, 27 Februari 2010

dalil maulid

Sayyid Muhammad
Al-Maliki
Dalil-Dalil Peringatan
Maulid Nabi SAW
Yang pertama
merayakan Maulid
Nabi SAW adalah
shahibul Maulid
sendiri, yaitu Nabi
SAW, sebagaimana
yang disebutkan
dalam hadits shahih
yang diriwayatkan
Muslim bahwa,
ketika ditanya
mengapa berpuasa
di hari Senin, beliau
menjawab, “Itu
adalah hari
kelahiranku.” Ini
nash yang paling
nyata yang
menunjukkan
bahwa
memperingati Maulid
Nabi adalah sesuatu
yang dibolehkan
syara ’.
Banyak dalil yang
bisa kita jadikan
sebagai dasar untuk
memperingati
kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Pertama, peringatan
Maulid Nabi SAW
adalah ungkapan
kegembiraan dan
kesenangan dengan
beliau. Bahkan orang
kafir saja
mendapatkan
manfaat dengan
kegembiraan itu
(Ketika Tsuwaibah,
budak perempuan
Abu Lahab, paman
Nabi,
menyampaikan
berita gembira
tentang kelahiran
sang Cahaya Alam
Semesta itu, Abu
Lahab pun
memerdekakannya.
Sebagai tanda suka
cita. Dan karena
kegembiraannya,
kelak di alam baqa’
siksa atas dirinya
diringankan setiap
hari Senin tiba.
Demikianlah rahmat
Allah terhadap siapa
pun yang
bergembira atas
kelahiran Nabi,
termasuk juga
terhadap orang kafir
sekalipun. Maka jika
kepada seorang
yang kafir pun Allah
merahmati, karena
kegembiraannya
atas kelahiran sang
Nabi, bagaimanakah
kiranya anugerah
Allah bagi umatnya,
yang iman selalu ada
di hatinya? — Red.al-
Kisah)
Kedua, beliau sendiri
mengagungkan hari
kelahirannya dan
bersyukur kepada
Allah pada hari itu
atas nikmat-Nya
yang terbesar
kepadanya.
Ketiga, gembira
dengan Rasulullah
SAW adalah perintah
Al-Quran. Allah SWT
berfirman,
“ Katakanlah, ‘Dengan
karunia Allah dan
rahmat-Nya,
hendaklah dengan
itu mereka
bergembira ’.” (QS
Yunus: 58).
Jadi, Allah SWT
menyuruh kita untuk
bergembira dengan
rahmat-Nya,
sedangkan Nabi
SAW merupakan
rahmat yang
terbesar,
sebagaimana
tersebut dalam Al-
Quran, “Dan tidaklah
Kami mengutusmu
melainkan sebagai
rahmat bagi semesta
alam. ” (QS Al-
Anbiya’: 107).
Keempat, Nabi SAW
memperhatikan
kaitan antara waktu
dan kejadian-
kejadian keagamaan
yang besar yang
telah lewat. Apabila
datang waktu ketika
peristiwa itu terjadi,
itu merupakan
kesempatan untuk
mengingatnya dan
mengagungkan
harinya.
Kelima, peringatan
Maulid Nabi SAW
mendorong orang
untuk membaca
shalawat, dan
shalawat itu
diperintahkan oleh
Allah Ta ’ala,
“Sesungguhnya
Allah dan para
malaikat-Nya
bershalawat untuk
Nabi. Wahai orang-
orang yang
beriman,
bershalawatlah kalian
untuknya dan
ucapkanlah salam
sejahtera
kepadanya. ” (QS Al-
Ahzab: 56).
Apa saja yang
mendorong orang
untuk melakukan
sesuatu yang
dituntut oleh syara’,
berarti hal itu juga
dituntut oleh syara’.
Berapa banyak
manfaat dan
anugerah yang
diperoleh dengan
membacakan salam
kepadanya.
Keenam, dalam
peringatan Maulid
disebut tentang
kelahiran beliau,
mukjizat-
mukjizatnya,
sirahnya, dan
pengenalan tentang
pribadi beliau.
Bukankah kita
diperintahkan untuk
mengenalnya serta
dituntut untuk
meneladaninya,
mengikuti
perbuatannya, dan
mengimani
mukjizatnya. Kitab-
kitab Maulid
menyampaikan
semuanya dengan
lengkap.
Ketujuh, peringatan
Maulid merupakan
ungkapan membalas
jasa beliau dengan
menunaikan
sebagian kewajiban
kita kepada beliau
dengan menjelaskan
sifat-sifatnya yang
sempurna dan
akhlaqnya yang
utama.
Dulu, di masa Nabi,
para penyair datang
kepada beliau
melantunkan
qashidah-qashidah
yang memujinya.
Nabi ridha (senang)
dengan apa yang
mereka lakukan dan
memberikan balasan
kepada mereka
dengan kebaikan-
kebaikan. Jika beliau
ridha dengan orang
yang memujinya,
bagaimana beliau
tidak ridha dengan
orang yang
mengumpulkan
keterangan tentang
perangai-perangai
beliau yang mulia.
Hal itu juga
mendekatkan diri kita
kepada beliau, yakni
dengan manarik
kecintaannya dan
keridhaannya.
Kedelapan,
mengenal perangai
beliau, mukjizat-
mukjizatnya, dan
irhash-nya (kejadian-
kejadian luar biasa
yang Allah berikan
pada diri seorang
rasul sebelum
diangkat menjadi
rasul), menimbulkan
iman yang
sempurna
kepadanya dan
menambah
kecintaan
terhadapnya.
Manusia itu
diciptakan menyukai
hal-hal yang indah,
baik fisik (tubuh)
maupun akhlaq,
ilmu maupun amal,
keadaan maupun
keyakinan. Dalam hal
ini tidak ada yang
lebih indah, lebih
sempurna, dan lebih
utama dibandingkan
akhlaq dan perangai
Nabi. Menambah
kecintaan dan
menyempurnakan
iman adalah dua hal
yang dituntut oleh
syara’. Maka, apa
saja yang
memunculkannya
juga merupakan
tuntutan agama.
Kesembilan,
mengagungkan Nabi
SAW itu
disyariatkan. Dan
bahagia dengan hari
kelahiran beliau
dengan
menampakkan
kegembiraan,
membuat jamuan,
berkumpul untuk
pengingat beliau,
serta memuliakan
orang-orang fakir,
adalah tampilan
pengagungan,
kegembiraan, dan
rasa syukur yang
paling nyata.
Kesepuluh, dalam
ucapan Nabi SAW
tentang keutamaan
hari Jum ’at,
disebutkan bahwa
salah satu di
antaranya adalah,
“ Pada hari itu Adam
diciptakan.” Hal itu
menunjukkan
dimuliakan-nya
waktu ketika seorang
nabi dilahirkan. Maka
bagaimana dengan
hari dilahirkannya
nabi yang paling
utama dan rasul
yang paling mulia?
Kesebelas,
peringatan Maulid
adalah perkara yang
dipandang bagus
oleh para ulama dan
kaum muslimin di
semua negeri dan
telah dilakukan di
semua tempat.
Karena itu, ia dituntut
oleh syara ’,
berdasarkan qaidah
yang diambil dari
hadits yang
diriwayatkan
Abdullah bin Mas ’ud,
“Apa yang
dipandang baik oleh
kaum muslimin, ia
pun baik di sisi Allah;
dan apa yang
dipandang buruk
oleh kaum
muslimin, ia pun
buruk di sisi Allah.”
Kedua belas, dalam
peringatan Maulid
tercakup
berkumpulnya
umat, dzikir,
sedekah, dan
pengagungan
kepada Nabi SAW.
Semua itu hal-hal
yang dituntut oleh
syara ’ dan terpuji.
Ketiga belas, Allah
SWT berfirman,
“ Dan semua kisah
dari rasul-rasul,
Kami ceritakan
kepadamu, yang
dengannya Kami
teguhkan
hatimu. ” (QS Hud:
120). Dari ayat ini
nyatalah bahwa
hikmah
dikisahkannya para
rasul adalah untuk
meneguhkan hati
Nabi. Tidak
diragukan lagi
bahwa saat ini kita
pun butuh untuk
meneguhkan hati
kita dengan berita-
berita tentang beliau,
lebih dari kebutuhan
beliau akan kisah
para nabi
sebelumnya.
Keempat belas, tidak
semua yang tidak
pernah dilakukan
para salaf dan tidak
ada di awal Islam
berarti bid ’ah yang
munkar dan buruk,
yang haram untuk
dilakukan dan wajib
untuk ditentang.
Melainkan apa yang
“ baru” itu (yang
belum pernah
dilakukan) harus
dinilai berdasarkan
dalil-dalil syara ’.
Kelima belas, tidak
semua bid ’ah itu
diharamkan. Jika
haram, niscaya
haramlah
pengumpulan Al-
Quran, yang
dilakukan Abu Bakar,
Umur, dan Zaid, dan
penulisannya di
mushaf-mushaf
karena khawatir
hilang dengan
wafatnya para
sahabat yang hafal
Al-Quran. Haram
pula apa yang
dilakukan Umar
ketika
mengumpulkan
orang untuk
mengikuti seorang
imam ketika
melakukan shalat
Tarawih, padahal ia
mengatakan,
“Sebaik-baik bid’ah
adalah ini.” Banyak
lagi perbuatan baik
yang sangat
dibutuhkan umat
akan dikatakan bid ’ah
yang haram apabila
semua bid ’ah itu
diharamkan.
Keenam belas,
peringatan Maulid
Nabi, meskipun tidak
ada di zaman
Rasulullah SAW,
sehingga merupakan
bid’ah, adalah bid’ah
hasanah (bid’ah
yang baik), karena ia
tercakup di dalam
dalil-dalil syara ’ dan
kaidah-kaidah
kulliyyah (yang
bersifat global).
Jadi, peringatan
Maulid itu bid ’ah jika
kita hanya
memandang
bentuknya, bukan
perincian-perincian
amalan yang
terdapat di dalamnya
(sebagaimana
terdapat dalam dalil
kedua belas), karena
amalan-amalan itu
juga ada di masa
Nabi.
Ketujuh belas,
semua yang tidak
ada pada awal masa
Islam dalam
bentuknya tetapi
perincian-perincinan
amalnya ada, juga
dituntut oleh syara’.
Karena apa yang
tersusun dari hal-hal
yang berasal dari
syara ’, pun dituntut
oleh syara’.
Kedelapan belas,
Imam Asy-Syafi’i
mengatakan, “Apa-
apa yang baru (yang
belum ada atau
dilakukan di masa
Nabi SAW) dan
bertentangan
dengan Kitabullah,
sunnah, ijmak, atau
sumber lain yang
dijadikan pegangan,
adalah bid ’ah yang
sesat. Adapun suatu
kebaikan yang baru
dan tidak
bertentangan
dengan yang
tersebut itu, adalah
terpuji.”
Kesembilan belas,
setiap kebaikan yang
tercakup dalam dalil-
dalil syar ’i dan tidak
dimaksudkan untuk
menyalahi syariat
dan tidak pula
mengandung suatu
kemungkaran, itu
termasuk ajaran
agama.
Kedua puluh,
memperingati Maulid
Nabi SAW berarti
menghidupkan
ingatan (kenangan)
tentang Rasulullah,
dan itu menurut kita
disyariatkan dalam
Islam. Sebagaimana
yang Anda lihat,
sebagian besar
amaliah haji pun
menghidupkan
ingatan tentang
peristiwa-peristiwa
terpuji yang telah
lalu.
Kedua puluh satu,
semua yang
disebutkan
sebelumnya tentang
dibolehkannya
secara syariat
peringatan Maulid
Nabi SAW hanyalah
pada peringatan-
peringatan yang
tidak disertai
perbuatan-perbuatan
mungkar yang
tercela, yang wajib
ditentang.
Adapun jika
peringatan Maulid
mengandung hal-hal
yang disertai sesuatu
yang wajib diingkari,
seperti
bercampurnya laki-
laki dan perempuan,
dilakukannya
perbuatan-perbuatan
yang terlarang, dan
banyaknya
pemborosan dan
perbuatan-perbuatan
lain yang tak diridhai
shahthul Maulid, tak
diragukan lagi
bahwa itu
diharamkan. Tetapi
keharamannya itu
bukan pada
peringatan
Maulidnya itu sendiri,
melainkan pada hal-
hal yang terlarang
tersebut. [infokito]
Wallahu a’lam
Wabillahi taufik wal
hidayah
***Disarikan dari
majalah al-Kisah
GLOSSARY:
Sayyid Prof. Dr.
Muhammad ibn
Sayyid ‘Alawi ibn
Sayyid ‘Abbas ibn
Sayyid ‘Abdul ‘Aziz
al-Maliki al-Hasani al-
Makki al-Asy ’ari asy-
Syadzili lahir di
Makkah pada tahun
1365 H. Ayah beliau,
Sayyid Alwi bin
Abbas Almaliki
(kelahiran Makkah th
1328H), seorang alim
ulama terkenal dan
ternama di kota
Makkah. Disamping
aktif dalam
berdawah baik di
Masjidil Haram atau
di kota kota lainnya
yang berdekatan
dengan kota Makkah
seperti Thoif, Jeddah.
Tidak kurang dari
100 buku yang telah
dikarangnya,
semuanya beredar
di seluruh dunia.
Tidak sedikit dari
kitab-kitab beliau
yang beredar telah
diterjemahkan ke
dalam bahasa
Inggris, Prancis,
Urdu, Indonesia dan
lain-lain.
Beliau wafat hari
jumat tanggal 15
Ramadhan 1425 H
(2004 M) dan
dimakamkan di
pemakaman Al-Ma’la
disamping makam
istri Rasulullah SAW.
Khadijah binti
Khuailid Ra. dengan
meninggalkan 6
putra, Ahmad,
Abdullah, Alawi, Ali,
al-Hasan dan al-
Husen dan beberapa
putri-putri

dalil tahlilan

Thawus al-Yamani
adalah seorang
tabi`in terkemuka
dari kalangan ahli
Yaman. Beliau
bertemu dan belajar
dengan 50 – 70
orang sahabat
Junjungan Nabi
s.a.w. Thawus
menyatakan bahawa
orang-orang mati
difitnah atau diuji
atau disoal dalam
kubur-kubur
mereka selama 7
hari, maka adalah
mereka menyukai
untuk diberikan
makanan sebagai
sedekah bagi
pihak si mati
sepanjang
tempoh tersebut.
Hadis Thawus ini
dikategorikan oleh
para ulama kita
sebagai mursal
marfu’ yang sahih.
Ianya mursal marfu’
kerana hanya
terhenti kepada
Thawus tanpa
diberitahu siapa
rawinya daripada
kalangan sahabi dan
seterusnya kepada
Junjungan Nabi
s.a.w. Tetapi oleh
kerana ianya
melibatkan perkara
barzakhiyyah yang
tidak diketahui selain
melalui wahyu maka
dirafa ’kanlah
sanadnya kepada
Junjungan Nabi
s.a.w. Para ulama
menyatakan bahawa
hadis mursal marfu ’
ini boleh dijadikan
hujjah secara mutlak
dalam 3 mazhab
sunni (Hanafi, Maliki
dan Hanbali,
manakala dalam
mazhab kita asy-
Syafi`i ianya
dijadikan hujjah jika
mempunyai
penyokong (selain
daripada mursal
Ibnu Mutsayyib).
Dalam konteks hadis
Thawus ini, ia
mempunyai
sekurang-kurangnya
2 penyokong, iaitu
hadis ‘Ubaid dan
hadis Mujahid. Oleh
itu, para ulama kita
menjadikannya
hujjah untuk amalan
yang biasa
diamalkan oleh
orang kita di rantau
sini, iaitu apabila ada
kematian maka
dibuatlah kenduri
selama 7 hari di
mana makanan
dihidangkan dengan
tujuan bersedekah
bagi pihak si mati.
Hadis Thawus ini
dibahas oleh Imam
Ibnu Hajar dalam
“al-Fatawa al-
Kubra al-
Fiqhiyyah” jilid 2
mukasurat 30.
Imam besar kita ini,
Syaikh Ahmad Ibnu
Hajar al-Haitami as-
Sa ’di al-Anshari
ditanya dengan satu
pertanyaan
berhubung sama
ada pendapat ulama
yang mengatakan
bahawa orang mati
itu difitnah/diuji atau
disoal 7 hari dalam
kubur mereka
mempunyai asal
pada syarak.
Imam Ibnu Hajar
menjawab bahawa
pendapat tersebut
mempunyai asal
yang kukuh (ashlun
ashilun) dalam
syarak di mana
sejumlah ulama
telah meriwayatkan
(1) daripada Thawus
dengan sanad yang
shahih dan (2)
daripada ‘Ubaid bin
‘Umair, dengan
sanad yang
berhujjah
dengannya Ibnu
‘ Abdul Bar, yang
merupakan seorang
yang lebih besar
daripada Thawus
maqamnya dari
kalangan tabi`in,
bahkan ada qil yang
menyatakan bahawa
‘ Ubaid bin ‘Umair ini
adalah seorang
sahabat kerana
beliau dilahirkan
dalam zaman Nabi
s.a.w. dan hidup
pada sebahagian
zaman Sayyidina
‘ Umar di Makkah;
dan (3) daripada
Mujahid.
Dan hukum 3
riwayat ini adalah
hukum hadis
mursal marfu’
kerana persoalan
yang diperkatakan
itu (yakni berhubung
orang mati difitnah 7
hari) adalah perkara
ghaib yang tiada
boleh diketahui
melalui pendapat
akal. Apabila perkara
sebegini datangnya
daripada tabi`i ianya
dihukumkan mursal
marfu’ kepada
Junjungan Nabi
s.a.w. sebagaimana
dijelaskan oleh para
imam hadits. Hadits
Mursal adalah
boleh dijadikan
hujjah di sisi
imam yang tiga
(yakni Hanafi,
Maliki dan Hanbali)
dan juga di sisi
kita (yakni Syafi`i)
apabila ianya
disokong oleh
riwayat lain. Dan
telah disokong
Mursal Thawus
dengan 2 lagi
mursal yang lain
(iaitu Mursal ‘Ubaid
dan Mursal
Mujahid), bahkan
jika kita
berpendapat
bahawa sabit
‘Ubaid itu seorang
sahabat nescaya
bersambunglah
riwayatnya
dengan Junjungan
Nabi s.a.w.
Selanjutnya Imam
Ibnu Hajar
menyatakan bahawa
telah sah riwayat
daripada Thawus
bahawasanya
“mereka
menyukai/
memustahabkan
untuk diberi
makan bagi pihak
si mati selama
tempoh 7 hari
tersebut.” Imam
Ibnu Hajar
menyatakan bahawa
“mereka” di sini
mempunyai 2
pengertian di sisi ahli
hadis dan usul.
Pengertian pertama
ialah “mereka”
adalah “umat pada
zaman Junjungan
Nabi s.a.w. di
mana mereka
melakukannya
dengan diketahui
dan dipersetujui
oleh Junjungan
Nabi s.a.w. ”;
manakala pengertian
kedua pula ialah
“mereka”
bermaksud “para
sahabat sahaja
tanpa dilanjutkan
kepada Junjungan
Nabi s.a.w.” (yakni
hanya dilakukan oleh
para sahabat sahaja).
Ikhwah jadi kita
dimaklumkan
bahawa setidak-
tidaknya amalan
“ ith’aam” ini
dilakukan oleh para
sahabat, jika tidak
semuanya maka
sebahagian daripada
mereka. Bahkan
Imam ar-Rafi`i
menyatakan bahawa
amalan ini masyhur
di kalangan para
sahabat tanpa
diingkari. Amalan
memberi makan
atau sedekah
kematian selama 7
hari mempunyai nas
yang kukuh dan
merupakan amalan
yang dianjurkan oleh
generasi awal Islam
lagi, jika tidak semua
sekurang-kurangnya
sebahagian generasi
awal daripada
kalangan sahabi dan
tabi`in. Oleh itu,
bagaimana dikatakan
ianya tidak
mempunyai
sandaran.
Imam as-Sayuthi
juga telah
membahaskan
perkara ini dengan
lebih panjang lebar
lagi dalam kitabnya
“al-Hawi lil
Fatawi” juzuk 2 di
bawah bab yang
dinamakannya
“Thulu’ ats-
Tsarayaa bi
idhzhaari maa
kaana khafayaa” di
mana antara
kesimpulan yang
dirumusnya pada
mukasurat 194:-
· Sesungguhnya
sunnat
memberi
makan 7 hari.
Telah sampai
kepadaku (yakni
Imam as-Sayuthi)
bahawasanya
amalan ini
berkekalan
diamalkan
sehingga
sekarang (yakni
zaman Imam as-
Sayuthi) di
Makkah dan
Madinah. Maka
zahirnya amalan
ini tidak pernah
ditinggalkan sejak
masa para
sahabat sehingga
sekarang, dan
generasi yang
datang kemudian
telah
mengambilnya
daripada generasi
terdahulu
sehingga ke
generasi awal
Islam lagi (ash-
shadrul awwal).
Dan aku telah
melihat kitab-kitab
sejarah sewaktu
membicarakan
biografi para
imam banyak
menyebut: ” dan
telah berhenti/
berdiri manusia
atas kuburnya
selama 7 hari di
mana mereka
membacakan al-
Quran”.
· Dan telah dikeluarkan
oleh al-Hafidz al-
Kabir Abul Qasim
Ibnu ‘Asaakir
dalam kitabnya
yang berjodol
“Tabyiin
Kadzibil Muftari
fi ma nusiba ilal
Imam Abil
Hasan
al-’Asy’ariy”
bahawa dia telah
mendengar asy-
Syaikh al-Faqih
Abul Fath
NashrUllah bin
Muhammad bin
‘Abdul Qawi al-
Mashishi berkata:
“ Telah wafat asy-
Syaikh Nashr bin
Ibrahim al-
Maqdisi pada hari
Selasa 9
Muharram 490H
di Damsyik. Kami
telah berdiri/
berhenti/berada
di kuburnya
selama 7 malam,
membaca kami
al-Quran pada
setiap malam 20
kali khatam. ”
Ikhwah, “ith`aam”
ini boleh mengambil
apa jua bentuk.
Tidak semestinya
dengan berkenduri
seperti yang lazim
diamalkan orang
kita. Jika dibuat
kenduri seperti itu,
tidaklah menjadi
kesalahan atau
bid`ah, asalkan
pekerjaannya betul
dengan kehendak
syarak.
Kenduri Arwah
– Lujnah Ulama
Fathani
Dalam buku”Ulama
Besar Dari
Fathani” susunan
Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang
diterbitkan oleh
Universiti
Kebangsaan
Malaysia, disebut
kisah seorang ulama
Fathani Darussalam,
Haji Abdullah
Bendang Kebun
yang menulis
sebuah kitab
berjodol “al-
Kawaakibun-
Nayyiraat fi Raddi
Ahlil-Bida` wal
‘ Aadaat” di mana
beliau memfatwakan
bahawa buat makan
kematian atau
kenduri arwah
selepas kematian itu
bid`ah makruhah
dan boleh menjadi
haram. Fatwanya ini
lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa
tokoh-tokoh anti
tahlil dan kenduri
arwah zaman kita
ini.
Fatwa ini telah
membuat keluh-
kesah dan
perpecahan dalam
masyarakat di
wilayah-wilayah
Fathani yang rata-
rata mengamalkan
tradisi bertahlil dan
berkenduri arwah
ini. Menyedari
hakikat ini, maka
Lujnah Ulama
Fathani telah
mengambil inisiatif
untuk mengadakan
mudzakarah dan
mesyuarat
berhubung isu ini
yang dihadiri oleh 17
orang ulama
ternama Fathani
termasuklah Haji
Abdullah Bendang
Kebun tersebut.
Yang Dipertua
Lujnah, Tuan Guru
Haji Abdur Rahman
mempengerusikan
mesyuarat tersebut
yang berjalan
dengan lancar serta
membuahkan
keputusan dan
natijah yang
memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak
yang menentang
dan menyokong
dikemukakan,
mesyuarat tersebut
telah mencapai
keputusan dan
mengeluarkan satu
resolusi pada 21
Januari 1974 yang
antara lain
menyebut:-
1. Ahli si mati
membuat
makanan kerana
kematian untuk
sedekah pahala
kepada mayyit
dengan ketiadaan
menyeru
(mengundang – p)
oleh mereka,
hukumnya
sunnat dengan
ittifaq Lujnah
Ulama Fathani.
2. Ahli si mati
membuat
makanan dan
memanggil
mereka itu akan
manusia pergi
makan kerana
qasad sedekah
pahalanya, dan
(meng) hadiah
(kan) pahala
jamuan itu kepada
mayyit, maka
hukumnya boleh
(harus) kerana
masuk dalam nas
ith`aam yang
disuruh dalam
hadits Thaawus,
kerana ith`aam itu
melengkapi
jamuan di rumah
si mati atau di
tempat lain.
3. Ahli si mati
membuat
makanan di
rumahnya atau di
rumah si mati
pada hari mati
atau pada hari
yang lain kerana
mengikut adat
istiadat, tidak
kerana qasad
ibadah dan niat
pahalanya kepada
mayyit, maka
hukumnya
makruh dengan
ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani.
4. Ahli si mati
membuat
makanan daripada
tirkah yang
bersabit dengan
umpama hak anak
yatim atau kerana
dipaksa ahli si mati
membuatnya
dengan tidak
sukarelanya dan
ikhlas hatinya,
maka hukumnya
haram dengan
ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani.
Menghukum sesuatu
hendaklah dibuat
secara teliti dan tafsil
melihat rupa bentuk
sesuatu, bukan
menghukum secara
membabi-buta dan
main pukul rata
haram dan bid`ah
dhalalah sahaja. Lihat
dahulu keadaannya,
bagaimana hendak
dihukumkan haram
jika ahli mayyit yang
telah aqil baligh
dengan rela hati
tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah
untuk menjemput
jiran-jiran dan
kenalan untuk hadir
ke rumah si mati
untuk berdoa buat si
mati dan kemudian
dijemput makan
yang semuanya
diniatkan sebagai
sedekah kepada si
mati.
Yang ditentang oleh
ulama kita ialah
mereka yang
menjalankannya
sehingga
menyusahkan diri
dan keluarga si mati
atau semata-mata
menjalankan adat
atau lebih jahat lagi
dengan niat
bermuka-muka atau
riak. Ini yang
difatwakan oleh
Sayyidi Ahmad Zaini
dalam “I`anathuth
– Tholibin” yang
sengaja dikelirukan
oleh Ustaz Rasul
yang dikasihi dengan
sengaja meninggal
menterjemahkan
soalan yang
dikemukakan kepada
Sayyidi Ahmad dan
jawapan beliau
sepenuhnya.
Menghukum haram
secara total amatlah
tidak wajar dan
tindakan sembrono.
Akhirul kalam, satu
soalan, adakah
ulama-ulama Fathani
yang membuat
resolusi di atas tidak
membaca kitab Tok
Syaikh Daud dan
Tuan Minal ? Siapa
yang baca dan
faham kehendak
ibarat kitab-kitab
tersebut ? Mereka
atau yang dikasihi
Ustaz Rasul kita ?
Tepuklah dada
masing-masing.
Allahumma
hidayatan wa
taufiqan ilal haqqi
wash showab.
Hadis Jarir –
Penjelasan
Tuan Guru Haji
Ahmad
Hadis Jarir yang
membawa maksud
“Kami mengira
orang berhimpun
kepada ahli
keluarga si mati
dan menyediakan
makanan selepas
pengkebumiannya
adalah daripada
ratapan (an-
niyahah). ” Hadis ini
menjadi hujjah bagi
meng ”haram” atau
me”makruh”
membuat kenduri
arwah kematian
selepas matinya
seseorang. Adakah
ini pemahaman
yang difahami oleh
para ulama kita ?
Tuan Guru Haji
Ahmad al-Fusani
(1902 – 1996)
memberi penjelasan
dalam kitabnya
“Khulasah al-
Mardhiyyah fi
Masail al-
Khilafiyyah” antara
lain menyatakan
bahawa kalimah
“ minan-niyahah”
dalam hadis tersebut
ditanggung
maknanya sebagai
“ min asbabin
niyahah” iaitu
“setengah
daripada sebab
ditakutkan jadi
niyahah. Maka
bukanlah diri
berhimpun dan
buat makan itu
niyahah sungguh
kerana jikalau
niyahah sungguh
tentulah ulama
kata haram kerana
tiada ada niyahah
yang makruh
sama sekali ”
(yakni jika semata-
mata berhimpun
dan berjamu itu
termasuk ratapan,
maka sudah tentu
ulama akan terus
menghukumnya
haram dan bukan
makruh kerana tidak
ada niyahah yang
hukumnya makruh.
Jadi dihukumkan
bid`ah makruhah
kerana boleh jadi
sebab bagi ratapan
atau boleh
membawa kepada
ratapan, jadi kalau
ikut kaedah ushul ini
yang menjadi ‘illah
bagi dihukumkan
bid`ah makruhah
tersebut, jika ‘illah ini
hilang maka
hukumnya juga
turut berubah).
Soalnya, adakah
kenduri arwah
yang orang kita
buat bersifat
sedemikian ?
Adakah kenduri
kita menjurus
kepada ratapan ?
Selanjutnya Tuan
Guru Haji Ahmad
menyebut :-
· “…Sebuah hadis
yang
meriwayatkan
dia Imam
Ahmad
rahimahUllah
ta ’ala dengan
sanad yang
sahih dan Abu
Daud daripada
‘ Aashim bin
Kulaib daripada
bapanya
daripada
seorang laki-
laki daripada
Anshar berkata
ia: “Keluar kami
sahabat nabi
serta Rasulullah
s.a.w. pada
menghantarkan
jenazah orang
mati kepada
kubur. Maka aku
nampak akan
Rasulullah
s.a.w.
menyuruh
orang yang
menggali kubur
dengan
katanya:
“ Perluas
olehmu
daripada pihak
dua kakinya,
perluas olehmu
daripada pihak
kepalanya ”.
Maka tatkala
balik Nabi
daripada kubur
berhadap
kepadanya
(yakni datang
kepada Nabi)
seorang yang
(mem)persilakan
Nabi ke rumah
daripada
suruhan
perempuan si
mati itu. Maka
Nabi serta
sahabat pun
silalah (yakni
datanglah) ke
rumahnya.
Maka dibawa
datang akan
makanan, maka
(meng)hantar
Nabi akan
tangannya,
yakni
menjemput
Nabi akan
makanan bubuh
ke mulut dan
(meng)hantarlah
segala sahabat
akan
tangannya ”…….Hadis
ini menyatakan
Nabi sendiri
serta sahabat
berhimpun
makan di rumah
orang mati
kemudian
(yakni selepas)
balik tanam
orang
mati…….Jadi
berlawan hadis
ini dengan
hadis Jarir yang
menunjuk atas
tegah
berhimpun
makan di rumah
orang mati
kemudian
daripada tanam
mayyit ……….Setengah
riwayat tak dak
lafaz “ba’da
dafnihi” (kemudian
daripada
tanamnya)
[yakni hadis
Jarir ada khilaf
dalam
riwayatnya
kerana ada
riwayat yang
tidak menyebut
“ ba’da dafnihi“).
Maka orang
tua-tua kita
tanggungkan
bahawasanya
makruh itu
berhimpun
makan di
hadapan mayyit
jua. Inilah
jalanan orang
tua-tua kita.
Sebab itulah
orang kita tidak
berjamu
sewaktu ada
mayyit di atas
rumah, dan jika
darurat kepada
berjamu juga
seperti bahawa
suntuk masa,
diberjamu pada
rumah yang lain
daripada rumah
yang ada
mayyit
padanya ……..Alhasil,
hukum
berhimpun di
rumah ahli
mayyit dan
membuat ahli
mayyit akan
makanan,
berjamu makan
semata-mata
dengan tidak
qasad
bersedekah
daripada mayyit
atau baca al-
Quran niat
pahala kepada
Allah, makruh
tanzih selama
ada mayyit di
atas rumah itu.”
Perkataan ulama kita
yang menghukum
berhimpun dan
berkenduri makan
selama 7 atau 40
hari sebagai bid`ah
makruhah diihtimal
maksudnya jika
perbuatan tersebut
dibuat semata-mata
menjalankan adat
kebiasaan yang jika
tidak dilaksanakan
akan menjadi
cemohan
masyarakat bukan
dengan niat
“ith`aam ‘anil
mayyit” dan
sebagainya. Atau
ianya boleh
membawa kepada
niyahah yang
diharamkan atau
kesedihan yang
berlarutan. Oleh itu,
larangan tersebut
tidaklah bersifat
mutlak tetapi
mempunyai qayyid
yang menjadi ‘illah
pada hukum
tersebut. Dalam
pada itu, Imam Ibnu
Hajar dalam “Fatwa
Kubra”nya
menyatakan bahawa
jika seseorang
berbuat kenduri
tersebut semata-
mata menjalankan
adat untuk menolak
cemohan orang-
orang jahil dan
menjaga
kehormatan dirinya
maka tidaklah ianya
dianggap sebagai
bid`ah
madzmumah. Nanti
aku postkan lain kali.
Seorang saudara
menghantar risalah
yang dalamnya
nukilan perkataan
Imam asy-Syafi`i
yang menyatakan
“Aku benci
diadakan ma’tam,
iaitu himpunan
walaupun tidak
ada tangisan
mereka, kerana
sesungguhnya
pada yang
sedemikian itu
memperbaharui
kedukaan dan
membebankan
tanggungan“.
Membaca nas
perkataan Imam
asy-Syafi`i ini jelas
menunjukkan tidak
mutlaknya
kebencian tersebut
kerana ianya
dikaitkan dengan
“ membaharui
kesedihan” dan
“membebankan”.
Apa kata jika,
perhimpunan
dilakukan adalah
dalam rangka
mendoakan si mati,
bersedekah buat
pihak si mati,
menghibur ahli
keluarga si mati, dan
tidak menjadi beban
kepada keluarga si
mati yang
berkemampuan ?
Adakah Imam kita
asy-Syafi`i masih
membencinya ?
Jadi kalau ada yang
berbuat kenduri
seperti itu rupanya
maka makruhlah kita
datang hadir. Bahkan
jika digunakan tirkah
anak yatim atau
tirkah waris yang
tidak redha atau
sebagainya makan
haram kita hadir. Jadi
hukumnya kena lihat
case by case, bukan
main pukul rata
haram atau makruh
atau harus.
Download kitab dan
risalah ahlusunnah,
kalahkan fatwa sesat
wahabi (bidznillah)!!
http://
www.geocities.com/
pndktmpn/
kitab04.htm
Ibnul Qayyim
(Scan Kitab Ar-
ruh) :
Sampainya
hadiah bacaan
Alqur ’an dan
Bolehnya
membaca Al-
Qur ’an
diatas kuburan
Ibnul Qayyim
(Scan Kitab Ar-
ruh) : Sampainya
hadiah bacaan
Alqur ’an dan
Bolehnya
membaca Al-
Qur ’an diatas
kuburan

wahabi

"WARNING"
Hati-hati terhadap Virus WB2 "WahBaBi":
Sebenarnya muncul Virus WB2 ini semenjak zaman dahulu, dan
makin zaman makin gencar dan parah akibat dari penyebaran
Virus WB2 ini.
**Kategori Virus: Menghantam kekebalan Iman, menyerang secara
langsung melalui pembuluh Aqidah**
Ciri-ciri Virus WB2:
1. Mengatasnamakan Islam bermazhab Sunni (ahlussunnah) tapi
kenyataanya berseberangan dengan mazhab sunni.
2. Mengkafirkan Mazhab apapun yg tidak sejalan dengan Virus ini.
3. Mengadu Domba Sesama Muslim agar terpecah belah.
4. Suka membuat FITNAH.
5. Bila diskusi di dunia maya sering mengcopy paste artikel tanpa
penjelasan panjang / tidak bertanggung jawab akan postingannya
dan menghapus posting2 yang berbau membocorkan Misi Virus
didalam group-group ciptaan Virus ini.
6. Anti Maulid.
7. Anti Ziarah.
8. Anti Tahlil.
9. Memakai celana cingkrang , layaknya Rapper.
Effect dari Virus WB2 :
1. Terpengaruhnya mazhab2 lain agar mengancurkan salah satu
mazhab yg sangat dibenci Virus ini.
2. Terpengaruhnya orang-orang agar melaksanakan Jihad ala
pemikiran Primitif Virus ini (bukan jihad fi sabilillah).
3. Menggendong Bom Bunuh Diri ke Hotel2 atau tempat2 hiburan.
4. Menghukumi suatu masalah Agama menurut emosi dan hawa
nafsu.
5. Bila berdiskusi memakai dalil yang sepotong2, dan seenak
wudel dewe.
WASPADALAH...WASPADALAH...!!!
RENUNGAN:
Bahwa sudah menjadi rahasia umum,.. rezim wahhaby -saudi
terlibat konspirasi besar dengan "yahuud"-"zionist",.. bila kita
analisa melalui kacamata politik global,.. silahkan lihat dijeddah,..
angkatan udara&militer mana yg membawahi??.. jawabanya
adalah: pesawat tempur udara perancis, inggris, usa, dan setan
besar "israel",..
inikah yg namanya "... asyidda' alal-kuffar"??.. adanya malah
bermesraan,..
inikah "ruhama' baynahum"?.. ketika palestine, jalur gaza diblokade
oleh israel,.. dimana saudi yg kaya dngan minyak dan "MENGAKU
ISLAM"??... adanya malah semakin memperparah keadaan dengan
bergandengan mesra ma "zionist".. wal'afwu,.. BUWAT
WAHHABIYYUN silahkan antum baca ulang peta politik global,..

ajakan menghanyutkan

kraaak...seakan
hatiku hancur ketika kau katakan
diriku seperti itu, mungkin aku bisa
saja katakan aku lebih baik darimu
karena mungkin itu maumu,padahal
biasanya aku tak seperti itu........
seinstan kau ajari dirimu dengan
orasi kebenaran menurutmu, tanpa
melihatku. kau tanyakan landasan
dimana aku berjalan, ketika terjawab
kau hanya mengatakan itu bukan
kebenaran, sakit ketika kau katakan
"ini hanya dongeng bualan".....biar
apa katamu tak kupedulikan, aku
telah lebur dalam imaji cinta di bulan
ini, tapi yang tak pernah kumengerti
disekujur pengetahuanku siapakah
sebenarnya dirimu?

alam tanda kebesaran dan keberada.an allah

Mengingat Allah Dengan
Membaca Alam Cetak E-mail
Senin, 26 Oktober 2009 01:46
"Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan
silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal." -QS
Ali Imran: 190-
Tsabit Bannani berkata,"Suatu ketika
Nabi Daud a.s melewati sebuah
lampu penerang yang sedang
menyala. Kemudian, dia teringat
akan api neraka yang dahsyat. Maka,
seketika itu juga dia bergetar dan
menjerit dengan keras sehingga
tampak anggota badan dan sendi-
sendinya akan terputus."
Demikianlah di antara akhlak sufi
yang mulia. Seorang sufi sejati
selalu memandang dunia dengan
pandangan iktibar (pelajaran) bukan
pandangan syahwat dan rasa
senang.
Hatim AlAshamm pernah di
tanya,"Kapan salah seorang di
antara kita dapat menjadi orang
yang selalu mengambil pelajaran?"
Hatim Menjawab,"Apabila orang itu
dapat melihat bahwa apapun di
dunia akan sirna dan bahwa orang
yang memiliki kekayaan dunia juga
akan sirna."
Yahya bin Muadz
berkata,"Hendaklah pandanganmu
terhadap dunia adalah pandangan
iktibar, pemanfaatanmu pada dunia
adalah keterpaksaan, dan
penolakanmu pada dunia adalah
pilihan."
Selanjutnya para sufi senantiasa
melihat proses penciptaan alam
sebagai sarana menuju (Keridhaan)
Allah. Mereka selalu membaca
berbagai hikmah yang ada di balik
alam. Mereka menafakuri semuanya
hingga menghasilkan rumusan
pengetahuan purna yang berguna
bagi kehidupan manusia setelah
mereka. Matahari, bumi dan langit di
pandang oleh mereka bukan
sekadar untuk dinikmati
keindahannya, tetapi untuk
direnungkan hikmah dibaliknya.
Jika kita menafakuri alam ini dengan
pikiran jernih, kita akan menemukan
bahwa alam semesta bagaikan
bangunan rumah yang
menyediakan berbagai perlengkapan
yang sempurna. Langit ditinggikan
seperti atap, bumi dihamparkan
seperti lantai, bintang-bintang
ditaburkan seperti lampu, dan
barang-barang tambang di perut
bumi ibarat kekayaan yang
terpendam. Semua itu disiapkan dan
disediakan untuk kepentingan alam
itu. Sementara itu, manusia ibarat
pemilik rumah yang dianugerahi
segala isinya. Berbagai jenis
tumbuhan disediakan untuk
memenuhi kebutuhannya dan
bermacam-macam hewan diberikan
untuk menopang kehidupannya.
Allah SWT telah menciptakan langit
ini dengan warna yang dapat di
pandang mata. Seandainya langit
diciptakan dalam bentuk sinar atau
cahaya, pasti akan menyakitkan
mata orang yang memandangnya.
Warna kebiru-biruan membuat
mata manusia bisa menikmati
pemandangan langit.. Apalagi ketika
malam mengganti siang, dan
bintang-bintang serta bulan
bercahaya terang, manusia dapat
memandang ciptaan Allah. Dan,
dalam keindahan langit, manusia
dapat menemukan Tuhan, Pencipta
jagat raya.
Selanjutnya ketika menyadari
keindahan langit, manusia akan
merenungkan keindahan tata surya.
Perputaran bintang-bintang
memberikan petunjuk arah dan
waktu kepada manusia. Ada
lintasan-lintasan yang bekas-
bekasnya dapat terlihat di barat dan
di timur. Ada juga kumpulan
bintang yang membentuk rasi
tertentu sehingga menjadi petunjuk
arah bagi orang yang tersesat.
Dengan petunjuk rasi bintang,
manusia dapat menemukan arah
yang ditujunya.
Keberadaan tata surya langit
menjadi dalil yang jelas tentang
keberadaan Tuhan yang
menciptakannya. Rancangan langit
yang sangat kukuh menunjukkan
keluasan ilmu penciptanya.
Keteraturannya menunjukkan
kehendak penciptanya. Karena itu,
Maha suci Allah yang Maha Kuasa,
Maha Tahu, dan Maha Berkehendak.
Sebagian ulama menuturkan
sepuluh keuntungan dalam
memandang langit, Yaitu:
1. Mengingatkan kepada Allah SWT,
2. Memancarkan pengagungan
kepada Allah dalam hati,
3. Menghilangkan pikiran buruk,
4. Mengurangi rasa suntuk,
5. Mengendorkan perasaan was-
was,
6. Menghilangkan perasaan takut,
7. Memberikan semangat bagi
orang yang patah hati,
8. Menghibur orang yang sedang di
landa rindu,
9. Memberikan rasa tenteram bagi
orang yang sedang jatuh cinta,
10. Kiblat bagi orang-orang yang
sedang berdoa.

73 golongan islam

Tentang Islam akan terpecah
menjadi banyak golongan
“Akan ada segolongan umatku yang
tetap atas Kebenaran sampai Hari
Kiamat dan mereka tetap atas
Kebenaran itu.” HR. Bukhari dan
Muslim.
Rasulullah Saw lewat riwayat Jabir
Ibnu Abdullah bersabda :
“ Akan ada generasi penerus
dari umatku yang akan memperjuangkan
yang haq, kamu akan mengetahui
mereka nanti pada hari kiamat, dan
kemudian Isa bin
Maryam akan datang, dan orang-
orang akan berkata, “Wahai Isa,
pimpinlah jamaa’ah (sholat),
ia akan berkata, “Tidak, kamu
memimpin satu sama lain, Allah
memberikan kehormatan pada
umat ini (Islam) bahwa tidak
seorang pun akan memimpin
mereka kecuali Rasulullah SAW dan
orang-orang mereka sendiri.”
Hadis tentang sejumlah 73
golongan yang terpecah dalam
Islam
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
“Orang-orang Yahudi terpecah
kedalam 71 atau 72 golongan,
demikian juga orang-orang Nasrani,
dan umatku akan terbagi kedalam
73 golongan.” HR. Sunan Abu Daud.
Dalam sebuah kesempatan,
Muawiyah bin Abu Sofyan berdiri
dan memberikan khutbah dan
dalam khutbahnya diriwayatkan
bahwa dia berkata, “Rasulullah SAW
bangkit dan memberikan khutbah,
dalam khutbahnya beliau berkata,
'Millah ini akan terbagi ke dalam 73
golongan, seluruhnya akan masuk
neraka, (hanya) satu yang masuk
surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-
Jamaa’ah. Dan dari kalangan umatku
akan ada golongan yang mengikuti
hawa nafsunya, seperti anjing
mengikuti tuannya, sampai hawa
nafsunya itu tidak menyisakan
anggota tubuh, daging, urat nadi
(pembuluh darah) maupun tulang
kecuali semua mengikuti hawa
nafsunya.” HR. Sunan Abu Daud.
Dari Auf bin Malik, dia berkata
bahwa Rasulullah Saw
bersabda:"Yahudi telah berpecah
menjadi
71 golongan, satu golongan di surga
dan 70 golongan di neraka. Dan
Nashara telah berpecah belah
menjadi 72 golongan,
71 golongan di neraka dan satu di
surga. Dan demi Allah yang jiwa
Muhammad ada dalam tangan-Nya
umatku ini pasti akan berpecah
belah menjadi 73
golongan, satu golongan di surga
dan 72 golongan di neraka." Lalu
beliau ditanya: "Wahai Rasulullah
siapakah mereka ?" Beliau
menjawab: "Al Jamaah." HR Sunan
Ibnu Majah.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Orang-
orang Bani Israil akan terpecah
menjadi 71 golongan dan umatku
akan terpecah kedalam 73 golongan,
seluruhnya akan masuk neraka,
kecuali satu, yaitu Al-Jamaa’ah.” HR.
Sunan Ibnu Majah.
“Bahwasannya bani Israel telah
berfirqah sebanyak 72 firqah
dan akan berfirqah umatku
sebanyak 73 firqah,
semuanya akan masuk Neraka
kecuali satu.” Sahabat-sahabat yang
mendengar ucapan ini bertanya:
“Siapakah yang satu itu Ya
Rasulullah?” Nabi menjawab: ” Yang
satu itu ialah orang yang berpegang
sebagai peganganku dan pegangan
sahabat-sahabatku.” HR Imam
Tirmizi.
Abdullah Ibnu Amru meriwayatkan
bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Umatku akan menyerupai Bani
Israil selangkah demi selangkah.
Bahkan jika seseorang dari mereka
menyetubuhi ibunya secara terang-
terangan, seseorang
dari umatku juga akan mengikutinya.
Kaum Bani Israil terpecah menjadi
72 golongan. Umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan,
seluruhnya akan masuk neraka,
hanya satu yang masuk surga.”
Kami (para shahabat) bertanya,
“Yang mana yang selamat ?”
Rasulullah Saw menjawab, “ Yang
mengikutiku dan para
shahabatku.” HR Imam Tirmizi.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Orang-orang Yahudi terbagi dalam
71 golongan atau 72 golongan dan
Nasrani pun demikian. Umatku akan
terpecah menjadi 73
golongan.” HR Imam Tirmizi.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani,
”Demi Tuhan yang memegang jiwa
Muhammad di tangan-
Nya, akan berpecah umatku sebanyak 73 firqah,
yang satu masuk Syurga dan yang
lain masuk Neraka.” Bertanya para
Sahabat: “Siapakah (yang tidak
masuk Neraka) itu Ya
Rasulullah?” Nabi menjawab:
“Ahlussunnah wal Jamaah.”
Mu’awiyah Ibnu Abu Sofyan
meriwayatkan bahwa Rosulullah
SAW bersabda : “Ahlul kitab
(Yahudi dan Nasrani) dalam masalah
agamanya terbagi menjadi
72 golongan dan dari umat ini
(Islam) akan terbagi menjadi 73
golongan, seluruhnya masuk
neraka,
satu golongan yang akan masuk
surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-
Jamaa’ah. Dan akan ada dari umatku
yang mengikuti hawa nasfsunya
seperti anjing mengikuti tuannya,
sampai hawa nafsunya itu tidak
menyisakan anggota tubuh, daging,
pembuluh darah, maupun tulang
kecuali semua mengikuti hawa
nafsunya. Wahai orang Arab! Jika
kamu tidak bangkit dan mengikuti
apa yang dibawa
Nabimu…” HR.Musnad Imam
Ahmad.
Umat islam terpecah menjadi 7
golongan besar yaitu:
1. Mu'tazilah, yaitu kaum yang
mengagungkan akal pikiran dan
bersifat filosofis, aliran ini dicetuskan
oleh Washil bin Atho (700-750 M)
salah seorang murid Hasan Al Basri.
Mu’tazilah memiliki 5 ajaran utama,
yakni :
1. Tauhid. Mereka berpendapat :
Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri.
al-Qur'an ialah makhluk.
Allah di alam akhirat kelak tak terlihat
mata manusia. Yang terjangkau
mata manusia bukanlah Ia.
2. Keadilan-Nya. Mereka berpendapat
bahwa Allah SWT akan memberi
imbalan pada manusia sesuai
perbuatannya.
3. Janji dan ancaman. Mereka
berpendapat Allah takkan ingkar
janji: memberi pahala pada
muslimin yang baik dan memberi
siksa pada muslimin yang jahat.
4. Posisi di antara 2 posisi. Ini
dicetuskan Wasil bin Atha yang
membuatnya berpisah dari
gurunya, bahwa mukmin berdosa
besar, statusnya di antara mukmin
dan kafir, yakni fasik.
5. Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik)
dan nahi munkar (mencegah
perbuatan yang tercela). Ini lebih
banyak berkaitan dengan hukum/
fikih.
Aliran Mu’tazilah berpendapat dalam
masalah qada dan qadar, bahwa
manusia sendirilah yang
menciptakan perbuatannya. Manusia
dihisab berdasarkan perbuatannya,
sebab ia sendirilah yang
menciptakannya.
Golongan Mu'tazilah pecah menjadi
20 golongan.
2. Syiah, yaitu kaum yang
mengagung-agungkan Sayyidina Ali
Kw, mereka tidak mengakui khalifah
Rasyidin yang lain seperti Khlifah
Sayyidina Abu Bakar, Sayidina Umar
dan Sayyidina Usman bahkan
membencinya. Kaum ini di sulut
oleh Abdullah bin Saba, seorang
pendeta yahudi dari Yaman yang
masuk islam. Ketika ia datang ke
Madinah tidak mendapat perhatian
dari khalifah dan umat islam lainnya
sehingga ia menjadi jengkel.
Golongan Syiah pecah menjadi 22
golongan dan yang paling parah
adalah Syi'ah Sabi'iyah.
3. Khawarij, yaitu kaum yang
sangat membenci Sayyidina Ali Kw,
bahkan mereka mengkafirkannya.
Salah satu ajarannya Siapa orang
yang melakukan dosa besar maka di
anggap kafir. Golongan Khawarij
Pecah menjadi 20 golongan.
4. Murjiah.
Al-Murji’ah meyakini bahwa seorang
mukmin cukup hanya
mengucapkan “Laailahaillallah” saja
dan ini terbantah dengan pernyataan
hadits bahwa dia harus mencari
dengan hal itu wajah Allah, dan
orang yang mencari tentunya
melakukan segala sarananya dan
konsekuensi-konsekuensi
pencariannya sehingga dia
mendapatkan apa yang dia cari dan
tidak cukup hanya mengucapkan
saja. Jadi menurut al-murji ’ah
bahwa cukup mengucapkan
“ Laailahaillallah” dan setelah itu dia
berbuat amal apa saja tidak akan
mempengaruhi keimanannya, maka
ini jelas bertentangan dengan hadits
“ dia mencari dengan itu wajah
Allah”, maka ini adalah bentuk
kesesatan al-murji’ah.
Al-Mu’tazilah dan Al-Khawarij
meyakini bahwa seorang yang
melakukan dosa-dosa besar kekal
didalam api neraka, dan ini terbantah
dengan sabda Rasulullah
“ sesungguhnya Allah
mengharamkan atas api neraka
orang yang mengucapkan
Laailahaillallah ”. Menurut Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah bahwasanya
pengharaman api neraka membakar
orang-orang yang mengucapkan
“ Laailahaillallah” itu ada dua, pertama
pengharaman secara mutlak dan ini
bagi orang yang mengucapkan
“ Laailahaillallah” dengan
mendatangkan seluruh syarat-
syaratnya, konsekuensi-
konsekuensinya dan kandungan-
kendungannya sehingga dia terlepas
dari syirik besar, syirik kecil dan
perbuatan-perbuatan dosa besar,
kalaupun dia terjatuh kepada
perbuatan dosa maka dia bertaubat
dan tidak terus menerus diatasnya,
maka orang yang sempurna
tauhidnya seperti ini diharamkan api
neraka untuk membakarnya secara
mutlak, yakni dia tidak disentuh oleh
api neraka sama sekali. Kemudian
yang kedua, yaitu pengharaman
yang tidak mutlak dan bersifat
kurang, yang dimaksud yaitu
pengharaman untuk kekal didalam
api neraka, ini bagi orang-orang
yang kurang tauhidnya sehingga dia
terjatuh kedalam syirik kecil atau
dosa-dosa besar yang dia terus
menerus didalamnya, maka orang
yang demikian ini diharamkan atas
api neraka untuk membakarnya
dalam jangka waktu yang kekal
selama dia belum mengugurkan
tauhidnya ketika didunia. Oleh
karena itu pendapat al-mu ’tazilah
dan al-khawarij yang menyatakan
bahwa pelaku dosa besar kekal
didalam api neraka, ini adalah
pendapat yang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah.
Tidak ada dzikir yang lebih utama
didunia ini kecuali “Laailahaillallah”.
Salah satu sebab dikabulkannya doa
adalah dengan menggunakan sifat
Allah dan nama-Nya, secara khusus
memanggil Allah dengan uluhiyah-
Nya, meminta dan berdoa kepada
Allah dengan menyebutkan
rububiyah-Nya.
“Laailahaillallah” merupakan dzikr
dan doa, disebut dengan doa karena
orang yang mengucapkan
“Laailahaillallah” mengharapkan ridha
Allah dan ingin sampai kepada
surga-Nya.
Golongan Murjiah pecah menjadi 5
golongan.
5. Najariyah, Kaum yang
menyatakan perbuatan manusia
adalah mahluk, yaitu dijadikan
Tuhan dan tidak percaya pada sifat
Allah yang 20. Golongan Najariyah
pecah menjadi 3 golongan.
6. Al Jabbariyah, Kaum yang
berpendapat bahwa seorang hamba
adalah tidak berdaya apa-apa
(terpaksa), ia melakukan maksiyat
semata-mata Allah yang
melakukan. Golongan Al Jabbariyah
pecah menjadi 1 golongan.
7. Al Musyabbihah / Mujasimah,
kaum yang menserupakan pencipta
yaitu Allah dengan manusia, misal
bertangan, berkaki, duduk di
kursi. Golongan Al Musyabbihah /
Mujasimah pecah menjadi 1
golongan.
Dan satu golongan yang selamat
adalah Ahli Sunah Wal Jama'ah.
Ahli Sunah wal Jama'ah.
1. Pengertian.
Secara etimologi Ahli adalah
kelompok/keluarga/pengikut. Sunah
adalah perbuatan-perbuatan
Rasulullah yang diperagakan beliau
untuk menjelaskan hukum-hukum
Al Qur'an yang dituangkan dalam
bentuk amalan. Al Jama'ah yaitu Al
Ummah ( Al Munjid) yaitu
sekumpulan orang-orang beriman
yang di pimpin oleh imam untuk
saling bekerjasama dalam hal
urusan yang penting.
Menurut istilah Ahli Sunah wal
Jama'ah adalah sekelompok orang
yang mentaati sunah Rasulullah
secara berjama'ah, atau satu
golongan umat islam di bawah satu
komando untuk urusan agama
islam sesuai dengan ajaran
Rasulullah dan para sahabatnya.
2.Syarat terbentuknya Al Jama'ah.
Secara singkat telah diterangkan
oleh Sayyidina Umar RA: " Tidak ada
islam kecuali dengan jama'ah, Tidak
ada jama'ah kecuali dengan imam,
Tidak ada imam kecuali dengan
Bai'at, Tidak ada bai'at kalau tidak ada
taat.
Dan bai'at bukanlah syahadat,
sebagaimana yang diyakini oleh
mereka yang salah, dan apalagi
dengan pengkafiran diluar kelompok
tersebut.
3. Terpeliharanya islam.
Dalam masa-masa kerusakan islam
Allah menunjukkan kasih sayangnya
dengan membangkitkan para
mujadidnya setiap 100 tahun sekali
yang meluruskan kembali
pemahaman ajaran Rasul sesuai
dengan kebutuhan pemahaman
mereka saat itu hingga turunnya
masa imam Mahdi.
Dari berbagai sumber.

Selasa, 23 Februari 2010

Sakit

Hampir 1minggu sakit
berfikir dalam hati mencari hikmah dalam sakit q ..hmf
ternyata amatlah sulit namun mungkin kita harus brusaha untuk berfikir
.. Tp jujur aja kadang yang ada hanya ratapan hehe
.. Menela,ah lagi makna basmala tuhan maha pengash juga penyayang tapi mengapa dia menciptakan sakit pada manusia
.subhanallah, sakit mang arah kita untuk meresapi kehidupan karna tiada ksbukan
.sjuta hikmah ada di sana
.meski yg q temukan dalam sakit q ini hanyalah secuil tapi q yakin mash bnyak yg tersimpan tak terfikirkan karna sehat kita penuh dngan aktftas dan ksbukan
.. Yg jadi pertanya,an q skarang maukah anda sakit?

Askum
by
dizk

Selasa, 09 Februari 2010

tawassul

“Tawassul” dari segi bahasa dari
kata “wasilah” yang berarti
‘darajah’ (kedudukan),
‘qurbah’ (kedekatan), atau dari
‘washlah’ (penyampai dan
penghubung). Dalam istilah syariat
Islam tawassul dikenal sebagai
sarana penghubung kepada Allah
melalui ketaatan.
Contoh: orang sakit datang ke
dokter, dia menjadikan dokter
sebagai perantara untuk
mendapatkan kesembuhan dengan
tetap meyakini bahwa pemberi
kesembuhan adalah Allah Swt.
Begitu pula seorang murid
membaca buku atau belajar kepada
seorang guru, maka dia menjadikan
buku dan guru sebagai perantara
untuk meraih ilmu. Sedangkan ilmu
pada hakikatnya dari Allah Swt.
Apabila diyakini dokter pemberi
kesembuhan atau buku dan guru
pemberi ilmu, maka dihukumi
sebagai kesyirikan terhadap Allah.
Allah Swt berfirman dalam Al-
Qur’an:
اَي اَهُّيَأ َنيِذَّلا
اوُنَمَآ اوُقَّتا َهَّللا
اوُغَتْباَو ِهْيَلِإ
َةَليِسَوْلا
“ Hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri
kepadanya.” (QS Al-Ma’idah: 35).
Perintah dari Allah di atas untuk
mencari wasilah (perantara)
mendekat diri kepada-Nya
disebutkan secara mutlak (dalam
bentuk ketaatan). Dalam kitab tafsir
Asshowy diterangkan “Termasuk
kesesatan dan kerugian yang nyata
apabila mengkafirkan kaum
muslimin karena berziarah ke
makam para wali Allah, dengan
menuduh bahwa ziarah merupakan
penyembahan kepada selain Allah.
Tidak! bahkan termasuk bentuk cinta
karena Allah, sebagaimana
disebutkan oleh Rasulullah Saw
َالَا َال َنامْيِإ نَمِل َال
َةبحَم هل ةليسولاو هل يتلا لاق
هللا اهيف اوُغَتْباَو
ِهْيَلِإ َةَليِسَوْلا
“Ingatlah ! tidak ada iman bagi orang
yang tidak ada cinta, dan wasillah
kepadanya yang dikatakan Al-Qur’an
“dan carilah wasilah menuju Allah”.
(As-Showi ala Tafsir jalalain juz 1 hal.
372)
Macam-Macam Tawassul :
a) Tawassul Dengan Amal Solih
Hadits riwayat Imam Bukhori No.
2111 hal. 40 juz 8 menceritakan tiga
orang yang terperangkap di dalam
goa yang tertutup batu besar.
Mereka keluar dengan selamat
setelah memohon kepada Allah
dengan wasilah amal-amal soleh
mereka.
b) Tawassul Dengan Orang
Solih Yang Hidup
Disebutkan dalam sohih Bukhori
اَنَثَّدَح ُنَسَحْلا ُنْب
ٍدَّمَحُم َلاَق اَنَثَّدَح
ُدَّمَحُم ُنْب ِدْبَع ِهَّللا
ُّيِراَصْنَأْلا َلاَق
يِنَثَّدَح يِبَأ ُدْبَع
ِهَّللا ُنْب ىَّنَثُمْلا ْنَع
َةَماَمُث ِنْب ِدْبَع ِهَّللا
ِنْب ٍسَنَأ ْنَع ِسَنَأ ِنْب
ٍكِلاَم َّنَأ َرَمُع َنْب
ِباَّطَخْلا َيِضَر ُهَّللا
ُهْنَع َناَك اَذِإ اوُطَحَق
ىَقْسَتْسا ِساَّبَعْلاِب
ِنْب ِدْبَع ِبِلَّطُمْلا
َلاَقَف َّمُهَّللا اَّنِإ
اَّنُك ُلَّسَوَتَن َكْيَلِإ
اَنِّيِبَنِب اَنيِقْسَتَف
اَّنِإَو ُلَّسَوَتَن
َكْيَلِإ ِّمَعِب اَنِّيِبَن
اَنِقْساَف َلاَق
َنْوَقْسُيَف
Diriwayatkan dari Anas bin Malik
sesungguhnya Umar bin Khatthab
RA ketika masyarakat tertimpa
paceklik, dia meminta hujan kepada
Allah dengan wasilah Abbas bin
Abdul Mutthalib, dia berdo’a “Ya
Allah! Dulu kami bertawassul
kepada-Mu dengan perantara Nabi
kami, lalu kami diberi hujan. Kini
kami bertawassul kepadamu
dengan perantara paman Nabi kami,
berikanlah kami hujan”. Perawi
hadits mengatakan “Mereka pun
diberi hujan.”. HR Bukhory : 4/99.
Jelas sekali bahwa Sayidina Umar
r.a. memohon kepada Allah dengan
wasilah bbas, paman Rasulullah
SAW padahal Sayidina Umar lebih
utama dari Abbas dan dapat
memohon kepada Allah tanpa
wasilah
c) Tawassul Dengan Orang
yang telah meninggal.
Dari Sayyidina Ali kr.
“Sesungguhnya Nabi Saw ketika
mengubur Fatimah binti Asad, ibu
dari Sayyidina Ali Ra. Nabi
mengatakan “Ya Allah! dengan
Hakku dan Hak para nabi sebelumku
ampunilah ibu setelah ibuku (wanita
yang mengasuh Nabi sepeninggal
Ibu-Nya)”. {HR. Thabrany dalam
kitab Ausat juz 1 hal. 152}. Pada
hadits tersebut Nabi betawassul
dengan para nabi yang sudah
meninggal.
d) Tawassul Dengan Yang
Belum Wujud.
Allah berfirman :
اَّمَلَو ْمُهَءاَج ٌباَتِك
ْنِم ِدْنِع ِهَّللا ٌقِّدَصُم
اَمِل ْمُهَعَم اوُناَكَو ْنِم
ُلْبَق َنوُحِتْفَتْسَي ىَلَع
َنيِذَّلا اوُرَفَك اَّمَلَف
ْمُهَءاَج اَم اوُفَرَع
اوُرَفَك ِهِب
“Dan setelah datang kepada mereka
Al Quran dari Allah yang
membenarkan apa yang ada pada
mereka, padahal sebelumnya
mereka biasa memohon
(kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir,
maka setelah datang kepada mereka
apa yang telah mereka ketahui,
mereka lalu ingkar kepadanya. Maka
la’nat Allah-lah atas orang-orang
yang ingkar itu”.(QS Al-Baqarah 89)
Diriwayatkan bahwa kaum Yahudi
memohon pertolongan untuk
mengalahkan kaum Aus dan
Khazraj dengan wasilah Nabi
Muhammad SAW yang kala itu
belum diutus dan mereka diberi
kemenangan oleh Allah, Akan tetapi
setelah beliau diutus sebagai Rasul
mereka mengkufurinya. (Tafsir
Attobari juz2 hal.333)
Disebutkan pula
نع رمع نب باطخلا يضر هللا هنع ،
لاق : لاق لوسر هللا ىلص هللا
هيلع ملسو : » امل فرتقا مدآ
ةئيطخلا لاق : اي بر كلأسأ قحب
دمحم امل ترفغ يل ، لاقف هللا :
اي مدآ ، فيكو تفرع ادمحم ملو
هقلخأ ؟ لاق : اي بر ، كنأل امل
ينتقلخ كديب تخفنو يف نم كحور
تعفر يسأر تيأرف ىلع مئاوق
شرعلا ابوتكم ال هلإ الإ هللا
دمحم لوسر هللا تملعف كنأ مل
فضت ىلإ كمسا الإ بحأ قلخلا
كيلإ
Dalam hadits yang diriwayatkan
Umar bin Khatthab Ra. Rasullulah
bersabda “Ketika Nabi Adam
melakukan kesalahan, Beliau berkata,
“ Wahai Tuhanku! aku meminta
kepada-Mu dengan Hak Muhammad
ampuni aku”. Kemudian Allah
menjawab “Wahai Adam!
bagaimana kamu mengetahui
tentang Muhammad padahal Aku
belum menciptakan-Nya?”. Adam
berkata “Wahai Tuhanku! karena
ketika Engkau ciptakan aku dengan
kekuasaan-Mu dan Kau tiupkan ruh
ke dalam diriku, setelah aku
mengangkat kepalaku, aku melihat
pada tiang Arsy tertulis “Lailaha
illallah Muhammad Rasullullah” maka
aku pun meyakini, tidaklah Kau
sandarkan sebuah nama pada
nama-Mu kecuali mahluk yang
paling Engkau cintai”. {HR. Hakim
dalam kitab Mustadrok juz 10 hal. 7.
dan dishohihkan oleh al-Hafidz As-
Suyuthy dalam kitab khosois an-
Nabawiyyah, Imam baihaqy dalam
kitab Dalailun Nubuwwah, Imam al-
Qasthalany dan Zarqany dalam kitab
al-Mawahib al-Ladzunniyah juz 2
hal. 62, dan Imam As-Subky dalam
kitab Syifa’us Siqom}.
Ini adalah bukti bahwa Nabi Adam
pun menjadikan Rasulullah SAW
sebagai wasilah sehinga Allah
menerima tobatnya, padahal beliau
belum diwujudkan oleh Allah SWT.
e) Tawassul Dengan Benda Mati
Allah berfirman dalam surat Al
Baqarah ayat 248 :
َلاَقَو ْمُهَل ْمُهُّيِبَن
َّنِإ َةَيَآ ِهِكْلُم ْنَأ
ُمُكَيِتْأَي ُتوُباَّتلا
ِهيِف ٌةَنيِكَس ْنِم
ْمُكِّبَر ٌةَّيِقَبَو اَّمِم
َكَرَت ُلَآ ىَسوُم ُلَآَو
َنوُراَه ُهُلِمْحَت
ُةَكِئاَلَمْلا َّنِإ يِف
َكِلَذ ًةَيَآَل ْمُكَل ْنِإ
ْمُتْنُك َنيِنِمْؤُم
“Dan Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: “Sesungguhnya
tanda ia akan menjadi raja, ialah
kembalinya tabut kepadamu, di
dalamnya terdapat ketenangan dari
Tuhanmu dan sisa dari peninggalan
keluarga Musa dan keluarga Harun;
tabut itu dibawa malaikat.
Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat tanda bagimu, jika kamu
orang yang beriman ”.
Al Hafidz Ibn Kasir dalam kitab tarikh
mengatakan: “Ibn Jarir berkata: “Bani
Israil apabila berperang melawan
musuh, mereka membawa tabut,
dan mereka mendapatkan
kemenangan berkat tabut, yang
berisi bekas peninggalan keluarga
Musa dan Imran”".
Ibn Kasir mengatakan pula dalam
kitab tafsirnya “Tabut itu berisi
tongkat Nabi Musa dan Nabi Harun
serta baju Nabi Harun, sebagaian
ulama mengatakan tongkat dan dua
sandal”.
Apabila bertawassul dengan bekas
peninggalan para Nabi, Allah SWT
ridho dengan perbuaatan mereka
dengan mengembalikan tabut itu ke
tangan mereka setelah lama hilang,
karena kemaksiatan mereka dan
menjadikan tabut itu tanda
keabsahan kerajaan Tholut, padahal
isi tabut adalah benda-benda mati
maka apakah menjadi syirik bila kita
bertawassul dengan sebaik-baik
Nabi?
Kesalahfahaman Kelompok
Penentang Tawassul Dalam
Memahami Ayat & Hadits
Sebagian orang mengatakan bahwa
tawassul hukumnya haram dan
menyebabkan kesyirikan, karena
perbuatan ini sama dengan
perbuatan orang musyrik,
berdasarkan firman Allah Swt
َنيِذَّلاَو اوُذَخَّتا ْنِم
ِهِنوُد َءاَيِلْوَأ اَم
ْمُهُدُبْعَن اَّلِإ
اَنوُبِّرَقُيِل ىَلِإ
ِهَّللا ىَفْلُز
Artinya “Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah
(berkata): “Kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat- dekatnya “.Az
Zumar : 3
Sebenarnya ayat di atas tidaklah
tepat jika ditujukan untuk orang-
orang yang beriman kepada Allah
karena ayat itu diturunkan untuk
menjelaskan kelicikan orang-orang
musyrik di dalam membela diri
mereka terhadap sesembahan
mereka yaitu berhala-berhala yang
sebenarnya mereka meyakini
bahwa berhala-berhala itu berkuasa
memberi manfat dan
mendatangkan bahaya. Sedangkan
orang yang beriman meyakini
bahwa semua manfaat dan bahaya
semata dari Allah.
Selain itu kalimat ام مهدبعن الا
انوبرقيل artinya kami tidak
menyembah berhala-berhala itu
kecuali untuk mendekatkan diri kami
kepada Allah. Apakah sama yang
diyakini orang yang bertawasul ?,
Tidak, mereka menyembah kepada
Allah dan tidak menyembah kepada
selain Allah dan mereka tidak
menjadikan apa yang mereka
tawassuli untuk mendekatkan diri
kepada Allah, mereka meminta
kepada Allah berkat orang-orang
yang soleh yang telah diridhoi oleh
Allah.
Salah besar jika melarang tawassul
dengan ayat di atas. Yang lebih
mengggelikan, ayat yang ditujukan
kepada musyrikin ini, mereka
gunakan untuk menyerang orang-
orang beriman yang meng-esakan
Allah. Imam Bukhori berkata “Ini
adalah perbuatan orang khawarij.
Mereka mengambil ayat untuk
orang kafir kemudian menimpakan
ayat tersebut kepada muslimin
dengan tanpa dalil dan disertai
fanatik yang keterlaluan “. {lihat kitab
Mas’alatul al-Washilah karya
Muhammad Zaky Ibrohim hal. 8}.
:Mereka juga salah di dalam
memahami hadits
اَذا َتْلَأَس ِلَأْساَف
َهَّللا اَذِإَو َتْنَعَتْسا
ْنِعَتْساَف ِهَّللاِب
“Apabila kamu meminta, maka
mintalah kepada Allah. Apabila kamu
meminta tolong maka minta
tolonglah kepada Allah” {HR.
Turmudzy juz 9 hal. 56}
Dinyatakan hadits di atas dalil untuk
mengharamkan bertawasul.
Sebenarnya hadits ini mengingatkan
bahwa semua datangnya dari Allah
Swt. Jelasnya, bila kamu meminta
kepada salah satu mahluk, maka
tetaplah berkeyakinan semuanya
dari Allah Swt bukan larangan untuk
meminta kepada selain Allah
sebagaimana zhohir hadits. Sesuai
dengan hadits berikut,
ْمَلْعاَو َّنَأ َةَّمُأْلا
ْوَل ْتَعَمَتْجا ىَلَع ْنَأ
َكوُعَفْنَي ٍءْيَشِب ْمَل
َكوُعَفْنَي اَّلِإ ٍءْيَشِب
ْدَق ُهَبَتَك ُهَّللا َكَل
ْوَلَو اوُعَمَتْجا ىَلَع ْنَأ
َكوُّرُضَي ٍءْيَشِب ْمَل
َكوُّرُضَي اَّلِإ ٍءْيَشِب
ْدَق ُهَبَتَك ُهَّللا
َكْيَلَع
“Ketahuilah seandainya semua umat
berkumpul untuk memberimu
manfaat dengan sesuatu, maka
mereka tidak akan bisa memberimu
manfaat kecuali sesuatu yang telah
ditetapkan Allah Swt kepadamu.
Apabila mereka berkumpul untuk
membahayakan kamu dengan
sesuatu, maka mereka tidak akan
bisa membahayakanmu kecuali
dengan sesuatu yang telah Allah
tentukan atasmu”. {HR. Turmudzy
juz 9 hal. 56}
Bandingkan ! hadits Nabi yang
berbunyi :
اَل ْبِحاَصُت اَّلِإ
اًنِمْؤُم اَلَو ْلُكْأَي
َكَماَعَط اَّلِإ ٌّيِقَت
“Janganlah bergaul dengan kecuali
orang mu’min dan jangan
memakan makananmu kecuali
orang yang bertqwa” {HR. Abi Daud
juz 12 hal. 458}
Apakah hadits ini sebagai larangan
bagi kita untuk bergaul dengan
orang kafir dan memberi makan
orang yang tidak betaqwa itu
haram ?. Tidak ! hadits di atas
peringatan “janganlah disamakan
bergaul dengan orang yang kafir
dengan bergaul dengan orang yang
beriman, dan lebih perhatikanlah
membantu orang yang bertaqwa
dari pada selainnya”. Hadits tersebut
hanyalah anjuran, bukan kewajiban.
Sebenarnya banyak sekali dalil-dalil
tentang diperbolehkannya tawasul
bahkan menjadi suatu anjuran, tapi
yang di atas kiranya menjadi cukup
sebagai pemikiran tentang kekurang
fahaman mereka terhadap ayat-ayat
dan hadits-hadits serta kefanatikan
mereka terhadap pendapat diri
sendiri tanpa menghargai pendapat
orang lain yang lebih tinggi ilmu dan
kesolehannya. Wallahu A’lam
مهللا اَنِرَا َّقَحْلا اًّقَح
اَنْقُزْراَو ُهَعاَبِّتا،
اَنِرَاَو َلِطاَبْلا
ًالِطاَب اَنْقُزْراَو
ُهَباَنِتْجا، نيـمآ. هللاو
ملعا

Senin, 08 Februari 2010

buat para blogger ada kabar gembira dari opera mini.. karna untk hape mulai dari kmarin udah ada revisi 5 yang amat asik di gunakan untuk posting di blog dari manapun karna tanpa ribet bawa pc..*dan untk para bloger yg menggunakan hp tanpa pc seperti saya amatlah sangan mendukung .karna di opera mini ada fitur tambahan dari revisi sebelumnya*yakni bisa buka tab baru tanpa of dari tab yang pertama layakx pc *dan juga ada fitur copy teks jadi bisa copas blog temen yang bagus*hehe.. tapi ijin dulu nanti yg punya blog marah.selain lebih cepat untuk browsing dan tampilanx yang baru operamini banyak fitur tambahan yang laen .makanya yg belum punya cepat download di opera mini .com. bisa juga di www.getjar.com .oke untk skarang saya akan share cara copy paste teks di website tetangga .dan yg belum punya blog buruan buat dan yg belum tau bisa lhat di postingan terdahulu dari blog ini* setelah down load buka aplikasi opera mini di hp anda dan ktik kata di gopel yang anda suka untuk posting di blog anda . dan setelah ada postingan yg cocok untuk di copy maka tekanlah angka 1 kmudaian ada tulisan use kmudian oke trus mulai strat dan ada tanda biru untuk postingan yang mau di copi kmudian use dan copy di sana*dan tekan menu biarkan ku7or ada di atas kmudian geser kanan ktik pada gogel blog anda *setelah login buatlah entry baru biaskan kusor pada kolom posting kmudian tekan 1 .paste di sana maka smua posting tlah ter copy ..selamat mencoba

Sabtu, 06 Februari 2010

pandangan sufi

ANTARA SUKMA NURANI DAN
SUKMA DHULMANI - oleh
Jalaluddin Rakhmat
Tiensetyo
Aja
Rowikarim
Doddy
Goentoro
06 Oktober 2009 jam 9:11
Menurut para sufi, manusia adalah
mahluk Allah yang paling
sempurna di dunia ini. Hal ini,
seperti yang dikatakan
Ibnu'Arabi manusia bukan saja
karena merupakan khalifah Allah
di bumi yang dijadikan sesuai
dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz
(penampakan atau tempat
kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling
lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia)
sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari
alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad
Adam. Allah berfirman:
Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan
Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15:
29)
Jadi jasad manusia, menurut para
sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam
melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah
jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi
rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan
tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang
jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan
mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati
nurani atau jantung
(al-qalb).
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-
NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan
pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan
memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan
jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur
materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh
berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal
semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam
keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan
selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad,
ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi
sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan
sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan
jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan
al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-
tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan
awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh
dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya
makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya
untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan
jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-
nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-
nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut
para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau
pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal
yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan
Penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak
hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan
hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat
tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah
sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka
sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh
pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan,
yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka
ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman
Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh
berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang
dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa
pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan
keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini
ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu
mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar
dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi
jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini
Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah
sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang
tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-
sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian,
ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa
muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk
surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang
selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai
sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai
satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai
beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta
kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan
dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi
buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan
baik dan buruk.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani
disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa
Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak,
sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir
yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang
ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena
itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah).
Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal,
para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang
telah mencapai tingkatan
tertinggi --akal perolehan (akal
mustafad)-- ia dapat
mengetahui kebahagiaan dan
berusaha memperolehnya. Akal
yang
demikian akan menjadikan jiwanya
kekal dalam kebahagiaan
(sorga). Namun, jika akal yang telah
mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha
memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam
kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna
dan tidak mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-
Farabi, jiwa yang demikian akan
hancur. Sedangkan menurut para
filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut
para filsuf terletak pada
kesempurnaan pengetahuan akal
dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan yang tertinggi, yaitu
ketika akan sampai ke
tingkat akal perolehan.
HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma terjemahan dari
kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat
dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi,
dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana
yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk
bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam
pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu
termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas,
misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini
adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa
(daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan
daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang
memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah).
Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil
kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi
Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah),
tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai
kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia
diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan
para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah).
Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat
nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat
untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya
dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu
dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta
menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat
hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu,
ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam
hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah
ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian,
poros jalan sufi ialah
moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai
dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan
hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab
penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya
kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan
membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani
ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru
akan membuatnya
berkembang banyak dan akan
berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia
(nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani
dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah
yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang
mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS.
91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin,
sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang
terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening,
hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah
serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang
justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta
mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah
melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena
mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi
dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-
hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati
nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati.
Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya.
Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan
beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham
Ilahi.
Hati atau sukma dhulmani selalu
mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani.
Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk
mengikuti hawa nafsunya.
Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung
pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan
pengontrolan hati dhulmani.

Kamis, 04 Februari 2010

AWAL NAMA TAREKAT

SEJARAH PEMBERIAN
NAMA
THARIQAH (TARIKAT)
June 26, 2008 10:21 am
A. PEMBERIAN
NAMA THARIQAH
(TARIKAT)
Silsilah Tarikat
Naqsyabandiyah
bersambung mulai
dari Rasulullah
kemudian turun
kepada Sayyidina Abu
Bakar Siddiq r.a., lalu
diturunkan kepada
Sayyidina Salman Al
Farisi r.a., dan
seterusnya sampai
dengan ahli silsilah
yang terakhir.
Walaupun inti ajaran
pokoknya adalah
sama, yaitu
dzikrullah, namun
nama-nama
tarikatnya berbeda
antara satu periode ke
periode selanjutnya.
Nama-nama itu
adalah sebagai
berikut :
1). Pada masa periode
Rasulullah SAW
dinamakan dengan
Thariqatus Sirriyah,
karena halus dan
tingginya peramalan
ini.
2). Pada masa periode
Abu Bakar Siddiq r.a.
dinamakan dengan
Thariqatul Ubudiyah,
karena beliau melihat
kesempurnaan
pengabdian Nabi
Muhammad SAW
sepenuhnya kepada
Allah SWT dan untuk-
Nya baik lahir
maupun batin.
3). Pada masa periode
Salman al Farisi r.a.
sampai dengan
periode Syekh Thaifur
Abu Yazid Al
Busthami q.s.
dinamakan dengan
Thariqatus
Shiddiqiyah, karena
kebenarannya dan
kesempurnaan
Saidina Abu Bakar
Siddiq r.a., mengikuti
jejak Rasulullah SAW
lahir maupun batin.
4). Pada masa
periode Abu Yazid Al
Busthami sampai
dengan periode
Syekh Abdul Khaliq Al
Fajduwani q.s.
dinamakan dengan
Thariqatuth
Thaifuriyah,
mengambil nama asli
dari Syekh Tahifur bin
Isa bin Adam bin
Sarusyan.
5). Pada masa
periode syekh Abdul
Khaliq Al Fajduwani
q.s. sampai dengan
periode Syekh
Bahauddin
Naqsyabandi q.s
dinamakan dengan
Thariqatul
Khawajakaniyah,
mengambil nama
khawajah Syekh
Abdul Khaliq Al
Fajduwani q.s.
6). Pada masa
periode Syekh
Bahauddin
Naqsyabandi q.s.
sampai dengan
periode Syekh
Nashiruddin
Ubaidullah Al Ahrar
q.s. dinamakan
dengan Thariqatun
Naqsyabandiyah.
mengambil nama dari
Syekh Bahauddin
Naqsyaband.
7). Pada masa
periode Syekh
Nashiruddin
Ubaidullah al Ahrar
q.s sampai dengan
periode Syekh
Ahmad al Faruqi q.s.
dinamakan dengan
Thariqatul
Naqsyabandiyah Al
Ahrariyah. Mengambil
nama dari
Nashiruddin
Ubaidullah Al Ahrar
q.s.
8). Pada masa
periode Syekh
Akhmad al Faruqi q.s.
sampai dengan
periode Maulana Asy
Syekh Dhiyauddin
Khalid Al Ustmani Al
Kurdi q.s. dinamakan
dengan periode
Thariqatun
Naqsyabandiyah Al
Mujaddidiyah.
9). Pada masa
periode Maulana Asy
Syekh Dhiyauddin
Khalid al Ustmani Al
Kurdi q.s sampai
dengan sekarang
dinamakan dengan
Thariqatun
Naqsyabandiyah Al
Mujaddidiyah Al
Khalidiyah.
Nama-nama itu
diberikan oleh murid-
murid setelah masa
hidup Syekh
Mursyidnya.
Umpamanya nama
Thariqatul Ubudiyah
diberikan oleh Abu
Bakar Siddiq r.a,
karena beliau melihat
kesempurnaan
pengabdian Nabi
Muhammad SAW.
Nama Thariqatus
Siddiqiyah diberikan
oleh Saidina Salman
Al Farisi r.a, karena
kebenarannya dan
kesempurnaan
Sayyidina Abu Bakar
Siddiq r.a.
Demikianlah
seterusnya.
B. TARIKAT
NAQSYABANDIYAH
Tarikat ini
dimasyhurkan oleh
Muhammad bin
Muhammad
Bahauddin al Uwaisi al
Bukhari Naqsyabandi
q.s. (silsilah ke- 15).
Dia belajar tasawuf
kepada Muhammad
Baba as Samasi ketika
beliau berusia 18
tahun. Untuk itu
beliau bermukim di
Sammas dan belajar
di situ sampai
gurunya (Syek AS
Samasi) wafat.
Sebelum Syekh As
Samasi wafat, beliau
mengangkat
Naqsyabandi sebagai
khalifahnya. Setelah
gurunya wafat, dia
pergi ke Samarkand,
kemudian pulang ke
Bukhara, setelah itu
pulang ke desa
tempat kelahirannya.
Setelah belajar
dengan Syekh Baba
As Samasi,
Naqsyabandi belajar
ilmu tarikat kepada
seorang wali quthub
di Nasyaf, yaitu Syekh
As Sayyid Amir Kulal
q.s. (silsilah ke- 14).
Syekh Amir Kulal q.s.
( 772 H / 1371 M)
adalah salah seorang
khalifah Syekh
Muhammad Baba As
Samasi. Dari Syekh
Amir Kulal inilah
Naqsyabandi
menerima statuta
sebagai Ahli Silsilah,
sebagai Syekh
Mursyid tarikat yang
dikembangkannya.
Meskipun
Naqsyabandi belajar
tasawuf dari Syekh
Muhammad Baba As
Samasi, dan tarikat
yang diperolehnya
dari Syekh Amir Kulal
juga berasal dari
Syekh As Samasi,
namun Tarikat
Naqsyabandiyah tidak
persis sama dengan
tarikat As Samasi.
Zikir Syekh
Muhammad Baba As
Samasi diucapkan
dengan suara keras
bila dilaksanakan pada
waktu zikir
berjamaah, namun
bila sendiri- sendiri
tetap zikir qalbi,
sedangkan zikir
Tarikat
Naqsyabandiyah
adalah zikir kalbi, yaitu
diucapkan tanpa
suara, baik sendiri-
sendiri maupun
berjamaah. Zikir
Syekh Naqsyabandi
sama dengan zikir
Syekh Abdul Khalik
Fajduani q.s. (silsilah
ke- 9), salah seorang
khalifah Syekh Abu
Yacub Yusuf al
Hamadani (silsilah ke-
8). Menurut salah satu
riwayat, Syekh Abdul
Khalik Fajduwani
mengamalkan
pendidikan Uwais Al
Qarni yang
melaksanakan zikir
qalbi tanpa suara.
Sesungguhnya zikir
Tarikat
Naqsyabandiyah ini
pada awalnya
dikembangkan oleh
Syekh Abu Yacub
Yusuf Al Hamadani
q.s. (silsilah ke-8),
wafat 353 h / 1140 M.
Al Hamadani adalah
seorang sufi yang
hidup sezaman
dengan Syekh Abdul
Qadir Jaelani q.s. (470
– 561 H / 1077 – 1166
M), seorang tokoh
sufi dan wali besar.
Syekh Al Hamadani
mempunyai dua
orang khalifah utama
yaitu Syekh Abdul
Khalik Fajduani q.s.
(silsilah ke- 9) wafat
1220 M dan Syekh
Ahmad Al Yasawi (w
562 H / 1169 M).
Syekh Abdul Khalik
Fajduani q.s. inilah
yang meneruskan
silsilah tarikat ini
sampai dengan Syekh
Bahauddin
Naqsyabandi. Adapun
Syekh Ahmad Al
Yasawi kemudian
mendirikan Tarikat
Yasawiyah di Asia
Tengah yang
kemudian menyebar
ke daerah Turki dan di
daerah Anatolia Asia
Kecil.
Abdul Khalik Fajduani
q.s. menyebarluaskan
ajaran tarikat ini ke
daerah Transoksania
di Asia Tengah. Abdul
Khalik Fajduani yang
tarikatnya bernama
Tarikat Khwajagan
menetapkan 8
(delapan) ajaran dasar
tarikatnya, yang
kemudian ditambah 3
(tiga) ajaran dasar lagi
oleh Syekh Bahauddin
Naqsyabandi.
Untuk mengetahui
apa yang menjadi
tujuan pokok Tarikat
Naqsyabandiyah ini
dapat ditemui dalam
ajaran dasar, enam
pokok pembinaan,
enam rukun, enam
pegangan dan enam
kewajiban, yang akan
dijelaskan rinciannya
pada uraiannya
selanjutnya.
Dalam perjalanan
hidupnya, Syekh
Naqsyabandi pernah
bekerja untuk Sultan
Khalil, penguasa
Samarkand dan
memberikan andil
yang besar sekali
dalam membina
masyarakat menjadi
makmur sehingga
pemerintahan Sultan
Khalil menjadi
terkenal. Setelah
Sultan Khalil wafat
(1347 Masehi )
Naqsyabandi pergi ke
Zerwatun (Khurasan)
dan hidup sebagai
sufi yang zuhud,
sambil melakukan
amal kebaikan untuk
umat manusia dan
binatang selama 7
tahun.
Pencatatan segala
perbuatan dan
amalnya dilakukan
dengan baik oleh
Saleh bin al- Mubarak,
salah seorang
muridnya yang setia.
Himpunan catatan
tersebut dimuat
dalam sebuah karya
berjudul “Maqamaat
Sayyidina Syah
Naqsyaband ”.
Pusat perkembangan
Tarikat
Naqsyabandiyah ini
pertama kali berada di
daerah Asia Tengah.
Ketika tarikat ini
dipimpin oleh Syekh
Ubaidullah Al Ahrar
q.s. (silsilah ke-18)
hampir seluruh
wilayah Asia Tengah
mengikuti Tarikat
Naqsyabandiyah.
Atas hasil usaha keras
dari Syekh Al Ahrar,
tarikat ini berkembang
meluas sampai ke
Turki dan India,
sehingga pusat- pusat
tarikat ini berdiri di
kota maupun daerah,
seperti di Samarkand,
Merv, Chiva,
Tashkent, Harrat,
Bukhara, Cina,
Turkestan, Khokand,
Afghanistan, Iran,
Baluchistan dan India.
Syekh Muhammad
Baqi Billah q.s. (silsilah
ke- 22) yang
bermukim di Delhi
India, sangat berjasa
dalam
mengembangkan dan
membina tarikat ini.
Sejumlah murid
Syekh Baqi Billah
seperti Syekh Murad
bin Ali Bukhari
mengembangkan
tarikat ini ke wilayah
Suria dan Anatolia
pada abad ke-17.
Muridnya yang lain
yaitu Syekh Tajuddin
bin Zakaria
menyebarkan tarikat
ini ke Makkatul
Mukarramah,
sedangkan Syekh
Ahmad Abu Al Wafah
bin Ujail ke daerah
Yaman dan Syekh
Ahmad bin
Muhammad Dimyati
ke daerah Mesir.
Sekitar tahun 1937,
Tarikat
Naqsyabandiyah pun
berkembang di Saudi
Arabia dan berpusat
di Jabal Qubais
Mekkah. Dari Jabal
Qubais inilah mulai
dari Saidi Syekh
Sulaiman Zuhdi q.s.
(silsilah ke- 32),
dilanjutkan Saidi
Syekh Ali ar Ridla q.s.
(silsilah ke- 33),
kemudian ketika
sampai pada Saidi
Syekh Muhammad
Hasyim al Khalidi q.s
(silsilah ke- 34) masuk
ke Indonesia. Dari
Saidi Syekh
Muhammad Hasyim
turun statuta Ahli
Silsilah Syekh Mursyid
kepada Saidi Syekh
Kadirun Yahya
Muhammad Amin al
Khalidi q.s. (silsilah ke-
35).
Sesungguhnya
seluruh Ahli Silsilah,
Syekh- Syekh
Mursyid itu
menyebarluaskan
Tarikat
Naqsyabandiyah ini
pada masa dan
wilayahnya masing-
masing. Khusus di
Indonesia Tarikat
Naqsyabandiyah ini
berkembang dalam
beberapa bentuk,
yaitu Tarikat
Naqsyabandiyah
Khalidiyah, Tarikat
Naqsyabandiyah
Muzhariyah dan
Tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah.
Tarikat
Naqsyabandiyah
Khalidiyah bersumber
dari Syekh Ismail al
Khalidi yang berasal
dari Simabur Batu
Sangkar Sumatera
Barat. Tarikat ini
akhirnya berkembang
dan disebarluaskan ke
daerah Riau,
Kesultanan Langkat
dan Deli, selanjutnya
ke Kesultanan Johor.
Tarikat
Naqsyabandiyah
Muzhariyah
bersumber dari
Sayyid Muhammad
Saleh as Zawawi
yang kemudian
menyebarluaskan
tarikatnya ke daerah
Pontianak, Madura
dan Jawa Timur.
Penyebaran Tarikat
Naqsyabandiyah
Muzhariyah ini
dilaksanakan oleh
murid-murid Syekh
Muhammad Saleh Az
Zawawi, yaitu syekh
Abdul Aziz
Muhammad Nur,
Sayyid Ja ’far bin
Muhammad, dan
Sayyid Ja ’far bin
Abdurrahman Qadri
untuk daerah
Pontianak, Syekh
Abdul Azim Manduri
untuk daerah Madura
dan Jawa Timur.
Adapun Tarikat
Kadiriyah wa
Naqsyabandiyah
merupakan
penggabungan
Tarikat Qadiriyah dan
Tarikat
Naqsyabandiyah.
Tarikat ini bersumber
dari Syekh Akhmad
Khatib Sambassi (w
Mekkah 1875) yang
berasal dari daerah
Sambas, Kalimantan
Barat. Beliau adalah
ulama besar yang
mengajar di Masjidil
Haram Mekkah, dan
banyak mempunyai
murid terkenal, antara
lain, Syekh Nawawi al
Bantani atau Nawawi
Al Jawi yang terkenal
dengan karya tulisnya
yang cukup banyak.
Pengembangan
Tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah ini di
Indonesia pada
pertengahan Abad
ke-19, disebarluaskan
oleh murid- murid
Ahmad Khatib
Sambassi yang
pulang ke Indonesia
dari tanah suci
Mekkah. Tarikat ini
berkembang pesat
terutama di pulau
Jawa dan banyak juga
tersebar di negara-
negara Asean, seperti
Malaysia, Singapura
dan Brunai
Darussalam. Di Pulau
Jawa ada beberapa
pondok pesantren
yang berpengaruh
dan banyak
menganut Tarikat
Kadiriyah wa
Naqsyabandiyah ini,
antara lain pesantren
Pegantungan di
Bogor, pesantren
Suryalaya di
Tasikmalaya,
pesantren Meranggen
di Semarang,
pesantren Rejoso di
Jombang dan
pesantren Tebu Ireng
juga di Jombang.
(Ensiklopedi Islam 4,
1994 : 4 – 12).

Template by : kendhin x-template.blogspot.com