Sabtu, 06 Februari 2010

pandangan sufi

ANTARA SUKMA NURANI DAN
SUKMA DHULMANI - oleh
Jalaluddin Rakhmat
Tiensetyo
Aja
Rowikarim
Doddy
Goentoro
06 Oktober 2009 jam 9:11
Menurut para sufi, manusia adalah
mahluk Allah yang paling
sempurna di dunia ini. Hal ini,
seperti yang dikatakan
Ibnu'Arabi manusia bukan saja
karena merupakan khalifah Allah
di bumi yang dijadikan sesuai
dengan citra-Nya, tetapi juga
karena ia merupakan mazhaz
(penampakan atau tempat
kenyataan)
asma dan sifat Allah yang paling
lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia)
sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari
alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad
Adam. Allah berfirman:
Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan
Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15:
29)
Jadi jasad manusia, menurut para
sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam
melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah
jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi
rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan
tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang
jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan
mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati
nurani atau jantung
(al-qalb).
RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-
NAFS)
Banyak ulama yang menyamakan
pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan
memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan
jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur
materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh
berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal
semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam
keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan
selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad,
ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi
sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan
sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan
jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan
al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-
tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan
awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh
dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya
makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya
untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan
jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-
nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-
nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut
para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau
pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal
yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan
Penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak
hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan
hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat
tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah
sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka
sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh
pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan,
yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka
ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman
Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh
berbuat jahat." (QS. 12: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang
dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa
pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan
keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini
ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu
mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar
dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi
jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini
Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah
sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang
tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-
sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian,
ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa
muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk
surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang
selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai
sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai
satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai
beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta
kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan
dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi
buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan
baik dan buruk.
AKAL
Akal yang dalam bahasa Yunani
disebut nous atau logos atau
intelek (intellect) dalam bahasa
Inggris adalah daya berpikir
yang terdapat dalam otak,
sedangkan "hati" adalah daya jiwa
(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir
yang ada pada otak di
kepala disebut akal. Sedangkan yang
ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena
itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah) dan
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah).
Kalau para filsuf
mengunggulkan pengetahuan akal,
para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang
telah mencapai tingkatan
tertinggi --akal perolehan (akal
mustafad)-- ia dapat
mengetahui kebahagiaan dan
berusaha memperolehnya. Akal
yang
demikian akan menjadikan jiwanya
kekal dalam kebahagiaan
(sorga). Namun, jika akal yang telah
mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha
memperolehnya. Jiwa yang
demikian akan kekal dalam
kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna
dan tidak mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-
Farabi, jiwa yang demikian akan
hancur. Sedangkan menurut para
filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut
para filsuf terletak pada
kesempurnaan pengetahuan akal
dalam mengetahui dan memperoleh
kebahagiaan yang tertinggi, yaitu
ketika akan sampai ke
tingkat akal perolehan.
HATI SUKMA (QALB)
Hati atau sukma terjemahan dari
kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat
dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi,
dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana
yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk
bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam
pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu
termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas,
misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini
adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa
(daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan
daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang
memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah).
Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil
kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi
Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah),
tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai
kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia
diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan
para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah).
Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat
nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat
untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya
dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu
dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta
menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat
hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu,
ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam
hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah
ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian,
poros jalan sufi ialah
moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai
dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan
hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab
penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya
kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan
membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani
ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru
akan membuatnya
berkembang banyak dan akan
berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia
(nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani
dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah
yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang
mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS.
91:8-9).
Hati nurani bagaikan cermin,
sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang
terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening,
hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah
serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang
justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta
mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.
Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah
melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena
mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi
dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-
hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati
nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati.
Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya.
Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan
beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham
Ilahi.
Hati atau sukma dhulmani selalu
mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani.
Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk
mengikuti hawa nafsunya.
Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung
pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan
pengontrolan hati dhulmani.

Kamis, 04 Februari 2010

AWAL NAMA TAREKAT

SEJARAH PEMBERIAN
NAMA
THARIQAH (TARIKAT)
June 26, 2008 10:21 am
A. PEMBERIAN
NAMA THARIQAH
(TARIKAT)
Silsilah Tarikat
Naqsyabandiyah
bersambung mulai
dari Rasulullah
kemudian turun
kepada Sayyidina Abu
Bakar Siddiq r.a., lalu
diturunkan kepada
Sayyidina Salman Al
Farisi r.a., dan
seterusnya sampai
dengan ahli silsilah
yang terakhir.
Walaupun inti ajaran
pokoknya adalah
sama, yaitu
dzikrullah, namun
nama-nama
tarikatnya berbeda
antara satu periode ke
periode selanjutnya.
Nama-nama itu
adalah sebagai
berikut :
1). Pada masa periode
Rasulullah SAW
dinamakan dengan
Thariqatus Sirriyah,
karena halus dan
tingginya peramalan
ini.
2). Pada masa periode
Abu Bakar Siddiq r.a.
dinamakan dengan
Thariqatul Ubudiyah,
karena beliau melihat
kesempurnaan
pengabdian Nabi
Muhammad SAW
sepenuhnya kepada
Allah SWT dan untuk-
Nya baik lahir
maupun batin.
3). Pada masa periode
Salman al Farisi r.a.
sampai dengan
periode Syekh Thaifur
Abu Yazid Al
Busthami q.s.
dinamakan dengan
Thariqatus
Shiddiqiyah, karena
kebenarannya dan
kesempurnaan
Saidina Abu Bakar
Siddiq r.a., mengikuti
jejak Rasulullah SAW
lahir maupun batin.
4). Pada masa
periode Abu Yazid Al
Busthami sampai
dengan periode
Syekh Abdul Khaliq Al
Fajduwani q.s.
dinamakan dengan
Thariqatuth
Thaifuriyah,
mengambil nama asli
dari Syekh Tahifur bin
Isa bin Adam bin
Sarusyan.
5). Pada masa
periode syekh Abdul
Khaliq Al Fajduwani
q.s. sampai dengan
periode Syekh
Bahauddin
Naqsyabandi q.s
dinamakan dengan
Thariqatul
Khawajakaniyah,
mengambil nama
khawajah Syekh
Abdul Khaliq Al
Fajduwani q.s.
6). Pada masa
periode Syekh
Bahauddin
Naqsyabandi q.s.
sampai dengan
periode Syekh
Nashiruddin
Ubaidullah Al Ahrar
q.s. dinamakan
dengan Thariqatun
Naqsyabandiyah.
mengambil nama dari
Syekh Bahauddin
Naqsyaband.
7). Pada masa
periode Syekh
Nashiruddin
Ubaidullah al Ahrar
q.s sampai dengan
periode Syekh
Ahmad al Faruqi q.s.
dinamakan dengan
Thariqatul
Naqsyabandiyah Al
Ahrariyah. Mengambil
nama dari
Nashiruddin
Ubaidullah Al Ahrar
q.s.
8). Pada masa
periode Syekh
Akhmad al Faruqi q.s.
sampai dengan
periode Maulana Asy
Syekh Dhiyauddin
Khalid Al Ustmani Al
Kurdi q.s. dinamakan
dengan periode
Thariqatun
Naqsyabandiyah Al
Mujaddidiyah.
9). Pada masa
periode Maulana Asy
Syekh Dhiyauddin
Khalid al Ustmani Al
Kurdi q.s sampai
dengan sekarang
dinamakan dengan
Thariqatun
Naqsyabandiyah Al
Mujaddidiyah Al
Khalidiyah.
Nama-nama itu
diberikan oleh murid-
murid setelah masa
hidup Syekh
Mursyidnya.
Umpamanya nama
Thariqatul Ubudiyah
diberikan oleh Abu
Bakar Siddiq r.a,
karena beliau melihat
kesempurnaan
pengabdian Nabi
Muhammad SAW.
Nama Thariqatus
Siddiqiyah diberikan
oleh Saidina Salman
Al Farisi r.a, karena
kebenarannya dan
kesempurnaan
Sayyidina Abu Bakar
Siddiq r.a.
Demikianlah
seterusnya.
B. TARIKAT
NAQSYABANDIYAH
Tarikat ini
dimasyhurkan oleh
Muhammad bin
Muhammad
Bahauddin al Uwaisi al
Bukhari Naqsyabandi
q.s. (silsilah ke- 15).
Dia belajar tasawuf
kepada Muhammad
Baba as Samasi ketika
beliau berusia 18
tahun. Untuk itu
beliau bermukim di
Sammas dan belajar
di situ sampai
gurunya (Syek AS
Samasi) wafat.
Sebelum Syekh As
Samasi wafat, beliau
mengangkat
Naqsyabandi sebagai
khalifahnya. Setelah
gurunya wafat, dia
pergi ke Samarkand,
kemudian pulang ke
Bukhara, setelah itu
pulang ke desa
tempat kelahirannya.
Setelah belajar
dengan Syekh Baba
As Samasi,
Naqsyabandi belajar
ilmu tarikat kepada
seorang wali quthub
di Nasyaf, yaitu Syekh
As Sayyid Amir Kulal
q.s. (silsilah ke- 14).
Syekh Amir Kulal q.s.
( 772 H / 1371 M)
adalah salah seorang
khalifah Syekh
Muhammad Baba As
Samasi. Dari Syekh
Amir Kulal inilah
Naqsyabandi
menerima statuta
sebagai Ahli Silsilah,
sebagai Syekh
Mursyid tarikat yang
dikembangkannya.
Meskipun
Naqsyabandi belajar
tasawuf dari Syekh
Muhammad Baba As
Samasi, dan tarikat
yang diperolehnya
dari Syekh Amir Kulal
juga berasal dari
Syekh As Samasi,
namun Tarikat
Naqsyabandiyah tidak
persis sama dengan
tarikat As Samasi.
Zikir Syekh
Muhammad Baba As
Samasi diucapkan
dengan suara keras
bila dilaksanakan pada
waktu zikir
berjamaah, namun
bila sendiri- sendiri
tetap zikir qalbi,
sedangkan zikir
Tarikat
Naqsyabandiyah
adalah zikir kalbi, yaitu
diucapkan tanpa
suara, baik sendiri-
sendiri maupun
berjamaah. Zikir
Syekh Naqsyabandi
sama dengan zikir
Syekh Abdul Khalik
Fajduani q.s. (silsilah
ke- 9), salah seorang
khalifah Syekh Abu
Yacub Yusuf al
Hamadani (silsilah ke-
8). Menurut salah satu
riwayat, Syekh Abdul
Khalik Fajduwani
mengamalkan
pendidikan Uwais Al
Qarni yang
melaksanakan zikir
qalbi tanpa suara.
Sesungguhnya zikir
Tarikat
Naqsyabandiyah ini
pada awalnya
dikembangkan oleh
Syekh Abu Yacub
Yusuf Al Hamadani
q.s. (silsilah ke-8),
wafat 353 h / 1140 M.
Al Hamadani adalah
seorang sufi yang
hidup sezaman
dengan Syekh Abdul
Qadir Jaelani q.s. (470
– 561 H / 1077 – 1166
M), seorang tokoh
sufi dan wali besar.
Syekh Al Hamadani
mempunyai dua
orang khalifah utama
yaitu Syekh Abdul
Khalik Fajduani q.s.
(silsilah ke- 9) wafat
1220 M dan Syekh
Ahmad Al Yasawi (w
562 H / 1169 M).
Syekh Abdul Khalik
Fajduani q.s. inilah
yang meneruskan
silsilah tarikat ini
sampai dengan Syekh
Bahauddin
Naqsyabandi. Adapun
Syekh Ahmad Al
Yasawi kemudian
mendirikan Tarikat
Yasawiyah di Asia
Tengah yang
kemudian menyebar
ke daerah Turki dan di
daerah Anatolia Asia
Kecil.
Abdul Khalik Fajduani
q.s. menyebarluaskan
ajaran tarikat ini ke
daerah Transoksania
di Asia Tengah. Abdul
Khalik Fajduani yang
tarikatnya bernama
Tarikat Khwajagan
menetapkan 8
(delapan) ajaran dasar
tarikatnya, yang
kemudian ditambah 3
(tiga) ajaran dasar lagi
oleh Syekh Bahauddin
Naqsyabandi.
Untuk mengetahui
apa yang menjadi
tujuan pokok Tarikat
Naqsyabandiyah ini
dapat ditemui dalam
ajaran dasar, enam
pokok pembinaan,
enam rukun, enam
pegangan dan enam
kewajiban, yang akan
dijelaskan rinciannya
pada uraiannya
selanjutnya.
Dalam perjalanan
hidupnya, Syekh
Naqsyabandi pernah
bekerja untuk Sultan
Khalil, penguasa
Samarkand dan
memberikan andil
yang besar sekali
dalam membina
masyarakat menjadi
makmur sehingga
pemerintahan Sultan
Khalil menjadi
terkenal. Setelah
Sultan Khalil wafat
(1347 Masehi )
Naqsyabandi pergi ke
Zerwatun (Khurasan)
dan hidup sebagai
sufi yang zuhud,
sambil melakukan
amal kebaikan untuk
umat manusia dan
binatang selama 7
tahun.
Pencatatan segala
perbuatan dan
amalnya dilakukan
dengan baik oleh
Saleh bin al- Mubarak,
salah seorang
muridnya yang setia.
Himpunan catatan
tersebut dimuat
dalam sebuah karya
berjudul “Maqamaat
Sayyidina Syah
Naqsyaband ”.
Pusat perkembangan
Tarikat
Naqsyabandiyah ini
pertama kali berada di
daerah Asia Tengah.
Ketika tarikat ini
dipimpin oleh Syekh
Ubaidullah Al Ahrar
q.s. (silsilah ke-18)
hampir seluruh
wilayah Asia Tengah
mengikuti Tarikat
Naqsyabandiyah.
Atas hasil usaha keras
dari Syekh Al Ahrar,
tarikat ini berkembang
meluas sampai ke
Turki dan India,
sehingga pusat- pusat
tarikat ini berdiri di
kota maupun daerah,
seperti di Samarkand,
Merv, Chiva,
Tashkent, Harrat,
Bukhara, Cina,
Turkestan, Khokand,
Afghanistan, Iran,
Baluchistan dan India.
Syekh Muhammad
Baqi Billah q.s. (silsilah
ke- 22) yang
bermukim di Delhi
India, sangat berjasa
dalam
mengembangkan dan
membina tarikat ini.
Sejumlah murid
Syekh Baqi Billah
seperti Syekh Murad
bin Ali Bukhari
mengembangkan
tarikat ini ke wilayah
Suria dan Anatolia
pada abad ke-17.
Muridnya yang lain
yaitu Syekh Tajuddin
bin Zakaria
menyebarkan tarikat
ini ke Makkatul
Mukarramah,
sedangkan Syekh
Ahmad Abu Al Wafah
bin Ujail ke daerah
Yaman dan Syekh
Ahmad bin
Muhammad Dimyati
ke daerah Mesir.
Sekitar tahun 1937,
Tarikat
Naqsyabandiyah pun
berkembang di Saudi
Arabia dan berpusat
di Jabal Qubais
Mekkah. Dari Jabal
Qubais inilah mulai
dari Saidi Syekh
Sulaiman Zuhdi q.s.
(silsilah ke- 32),
dilanjutkan Saidi
Syekh Ali ar Ridla q.s.
(silsilah ke- 33),
kemudian ketika
sampai pada Saidi
Syekh Muhammad
Hasyim al Khalidi q.s
(silsilah ke- 34) masuk
ke Indonesia. Dari
Saidi Syekh
Muhammad Hasyim
turun statuta Ahli
Silsilah Syekh Mursyid
kepada Saidi Syekh
Kadirun Yahya
Muhammad Amin al
Khalidi q.s. (silsilah ke-
35).
Sesungguhnya
seluruh Ahli Silsilah,
Syekh- Syekh
Mursyid itu
menyebarluaskan
Tarikat
Naqsyabandiyah ini
pada masa dan
wilayahnya masing-
masing. Khusus di
Indonesia Tarikat
Naqsyabandiyah ini
berkembang dalam
beberapa bentuk,
yaitu Tarikat
Naqsyabandiyah
Khalidiyah, Tarikat
Naqsyabandiyah
Muzhariyah dan
Tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah.
Tarikat
Naqsyabandiyah
Khalidiyah bersumber
dari Syekh Ismail al
Khalidi yang berasal
dari Simabur Batu
Sangkar Sumatera
Barat. Tarikat ini
akhirnya berkembang
dan disebarluaskan ke
daerah Riau,
Kesultanan Langkat
dan Deli, selanjutnya
ke Kesultanan Johor.
Tarikat
Naqsyabandiyah
Muzhariyah
bersumber dari
Sayyid Muhammad
Saleh as Zawawi
yang kemudian
menyebarluaskan
tarikatnya ke daerah
Pontianak, Madura
dan Jawa Timur.
Penyebaran Tarikat
Naqsyabandiyah
Muzhariyah ini
dilaksanakan oleh
murid-murid Syekh
Muhammad Saleh Az
Zawawi, yaitu syekh
Abdul Aziz
Muhammad Nur,
Sayyid Ja ’far bin
Muhammad, dan
Sayyid Ja ’far bin
Abdurrahman Qadri
untuk daerah
Pontianak, Syekh
Abdul Azim Manduri
untuk daerah Madura
dan Jawa Timur.
Adapun Tarikat
Kadiriyah wa
Naqsyabandiyah
merupakan
penggabungan
Tarikat Qadiriyah dan
Tarikat
Naqsyabandiyah.
Tarikat ini bersumber
dari Syekh Akhmad
Khatib Sambassi (w
Mekkah 1875) yang
berasal dari daerah
Sambas, Kalimantan
Barat. Beliau adalah
ulama besar yang
mengajar di Masjidil
Haram Mekkah, dan
banyak mempunyai
murid terkenal, antara
lain, Syekh Nawawi al
Bantani atau Nawawi
Al Jawi yang terkenal
dengan karya tulisnya
yang cukup banyak.
Pengembangan
Tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah ini di
Indonesia pada
pertengahan Abad
ke-19, disebarluaskan
oleh murid- murid
Ahmad Khatib
Sambassi yang
pulang ke Indonesia
dari tanah suci
Mekkah. Tarikat ini
berkembang pesat
terutama di pulau
Jawa dan banyak juga
tersebar di negara-
negara Asean, seperti
Malaysia, Singapura
dan Brunai
Darussalam. Di Pulau
Jawa ada beberapa
pondok pesantren
yang berpengaruh
dan banyak
menganut Tarikat
Kadiriyah wa
Naqsyabandiyah ini,
antara lain pesantren
Pegantungan di
Bogor, pesantren
Suryalaya di
Tasikmalaya,
pesantren Meranggen
di Semarang,
pesantren Rejoso di
Jombang dan
pesantren Tebu Ireng
juga di Jombang.
(Ensiklopedi Islam 4,
1994 : 4 – 12).

Template by : kendhin x-template.blogspot.com