Sabtu, 27 Februari 2010

dalil maulid

Sayyid Muhammad
Al-Maliki
Dalil-Dalil Peringatan
Maulid Nabi SAW
Yang pertama
merayakan Maulid
Nabi SAW adalah
shahibul Maulid
sendiri, yaitu Nabi
SAW, sebagaimana
yang disebutkan
dalam hadits shahih
yang diriwayatkan
Muslim bahwa,
ketika ditanya
mengapa berpuasa
di hari Senin, beliau
menjawab, “Itu
adalah hari
kelahiranku.” Ini
nash yang paling
nyata yang
menunjukkan
bahwa
memperingati Maulid
Nabi adalah sesuatu
yang dibolehkan
syara ’.
Banyak dalil yang
bisa kita jadikan
sebagai dasar untuk
memperingati
kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Pertama, peringatan
Maulid Nabi SAW
adalah ungkapan
kegembiraan dan
kesenangan dengan
beliau. Bahkan orang
kafir saja
mendapatkan
manfaat dengan
kegembiraan itu
(Ketika Tsuwaibah,
budak perempuan
Abu Lahab, paman
Nabi,
menyampaikan
berita gembira
tentang kelahiran
sang Cahaya Alam
Semesta itu, Abu
Lahab pun
memerdekakannya.
Sebagai tanda suka
cita. Dan karena
kegembiraannya,
kelak di alam baqa’
siksa atas dirinya
diringankan setiap
hari Senin tiba.
Demikianlah rahmat
Allah terhadap siapa
pun yang
bergembira atas
kelahiran Nabi,
termasuk juga
terhadap orang kafir
sekalipun. Maka jika
kepada seorang
yang kafir pun Allah
merahmati, karena
kegembiraannya
atas kelahiran sang
Nabi, bagaimanakah
kiranya anugerah
Allah bagi umatnya,
yang iman selalu ada
di hatinya? — Red.al-
Kisah)
Kedua, beliau sendiri
mengagungkan hari
kelahirannya dan
bersyukur kepada
Allah pada hari itu
atas nikmat-Nya
yang terbesar
kepadanya.
Ketiga, gembira
dengan Rasulullah
SAW adalah perintah
Al-Quran. Allah SWT
berfirman,
“ Katakanlah, ‘Dengan
karunia Allah dan
rahmat-Nya,
hendaklah dengan
itu mereka
bergembira ’.” (QS
Yunus: 58).
Jadi, Allah SWT
menyuruh kita untuk
bergembira dengan
rahmat-Nya,
sedangkan Nabi
SAW merupakan
rahmat yang
terbesar,
sebagaimana
tersebut dalam Al-
Quran, “Dan tidaklah
Kami mengutusmu
melainkan sebagai
rahmat bagi semesta
alam. ” (QS Al-
Anbiya’: 107).
Keempat, Nabi SAW
memperhatikan
kaitan antara waktu
dan kejadian-
kejadian keagamaan
yang besar yang
telah lewat. Apabila
datang waktu ketika
peristiwa itu terjadi,
itu merupakan
kesempatan untuk
mengingatnya dan
mengagungkan
harinya.
Kelima, peringatan
Maulid Nabi SAW
mendorong orang
untuk membaca
shalawat, dan
shalawat itu
diperintahkan oleh
Allah Ta ’ala,
“Sesungguhnya
Allah dan para
malaikat-Nya
bershalawat untuk
Nabi. Wahai orang-
orang yang
beriman,
bershalawatlah kalian
untuknya dan
ucapkanlah salam
sejahtera
kepadanya. ” (QS Al-
Ahzab: 56).
Apa saja yang
mendorong orang
untuk melakukan
sesuatu yang
dituntut oleh syara’,
berarti hal itu juga
dituntut oleh syara’.
Berapa banyak
manfaat dan
anugerah yang
diperoleh dengan
membacakan salam
kepadanya.
Keenam, dalam
peringatan Maulid
disebut tentang
kelahiran beliau,
mukjizat-
mukjizatnya,
sirahnya, dan
pengenalan tentang
pribadi beliau.
Bukankah kita
diperintahkan untuk
mengenalnya serta
dituntut untuk
meneladaninya,
mengikuti
perbuatannya, dan
mengimani
mukjizatnya. Kitab-
kitab Maulid
menyampaikan
semuanya dengan
lengkap.
Ketujuh, peringatan
Maulid merupakan
ungkapan membalas
jasa beliau dengan
menunaikan
sebagian kewajiban
kita kepada beliau
dengan menjelaskan
sifat-sifatnya yang
sempurna dan
akhlaqnya yang
utama.
Dulu, di masa Nabi,
para penyair datang
kepada beliau
melantunkan
qashidah-qashidah
yang memujinya.
Nabi ridha (senang)
dengan apa yang
mereka lakukan dan
memberikan balasan
kepada mereka
dengan kebaikan-
kebaikan. Jika beliau
ridha dengan orang
yang memujinya,
bagaimana beliau
tidak ridha dengan
orang yang
mengumpulkan
keterangan tentang
perangai-perangai
beliau yang mulia.
Hal itu juga
mendekatkan diri kita
kepada beliau, yakni
dengan manarik
kecintaannya dan
keridhaannya.
Kedelapan,
mengenal perangai
beliau, mukjizat-
mukjizatnya, dan
irhash-nya (kejadian-
kejadian luar biasa
yang Allah berikan
pada diri seorang
rasul sebelum
diangkat menjadi
rasul), menimbulkan
iman yang
sempurna
kepadanya dan
menambah
kecintaan
terhadapnya.
Manusia itu
diciptakan menyukai
hal-hal yang indah,
baik fisik (tubuh)
maupun akhlaq,
ilmu maupun amal,
keadaan maupun
keyakinan. Dalam hal
ini tidak ada yang
lebih indah, lebih
sempurna, dan lebih
utama dibandingkan
akhlaq dan perangai
Nabi. Menambah
kecintaan dan
menyempurnakan
iman adalah dua hal
yang dituntut oleh
syara’. Maka, apa
saja yang
memunculkannya
juga merupakan
tuntutan agama.
Kesembilan,
mengagungkan Nabi
SAW itu
disyariatkan. Dan
bahagia dengan hari
kelahiran beliau
dengan
menampakkan
kegembiraan,
membuat jamuan,
berkumpul untuk
pengingat beliau,
serta memuliakan
orang-orang fakir,
adalah tampilan
pengagungan,
kegembiraan, dan
rasa syukur yang
paling nyata.
Kesepuluh, dalam
ucapan Nabi SAW
tentang keutamaan
hari Jum ’at,
disebutkan bahwa
salah satu di
antaranya adalah,
“ Pada hari itu Adam
diciptakan.” Hal itu
menunjukkan
dimuliakan-nya
waktu ketika seorang
nabi dilahirkan. Maka
bagaimana dengan
hari dilahirkannya
nabi yang paling
utama dan rasul
yang paling mulia?
Kesebelas,
peringatan Maulid
adalah perkara yang
dipandang bagus
oleh para ulama dan
kaum muslimin di
semua negeri dan
telah dilakukan di
semua tempat.
Karena itu, ia dituntut
oleh syara ’,
berdasarkan qaidah
yang diambil dari
hadits yang
diriwayatkan
Abdullah bin Mas ’ud,
“Apa yang
dipandang baik oleh
kaum muslimin, ia
pun baik di sisi Allah;
dan apa yang
dipandang buruk
oleh kaum
muslimin, ia pun
buruk di sisi Allah.”
Kedua belas, dalam
peringatan Maulid
tercakup
berkumpulnya
umat, dzikir,
sedekah, dan
pengagungan
kepada Nabi SAW.
Semua itu hal-hal
yang dituntut oleh
syara ’ dan terpuji.
Ketiga belas, Allah
SWT berfirman,
“ Dan semua kisah
dari rasul-rasul,
Kami ceritakan
kepadamu, yang
dengannya Kami
teguhkan
hatimu. ” (QS Hud:
120). Dari ayat ini
nyatalah bahwa
hikmah
dikisahkannya para
rasul adalah untuk
meneguhkan hati
Nabi. Tidak
diragukan lagi
bahwa saat ini kita
pun butuh untuk
meneguhkan hati
kita dengan berita-
berita tentang beliau,
lebih dari kebutuhan
beliau akan kisah
para nabi
sebelumnya.
Keempat belas, tidak
semua yang tidak
pernah dilakukan
para salaf dan tidak
ada di awal Islam
berarti bid ’ah yang
munkar dan buruk,
yang haram untuk
dilakukan dan wajib
untuk ditentang.
Melainkan apa yang
“ baru” itu (yang
belum pernah
dilakukan) harus
dinilai berdasarkan
dalil-dalil syara ’.
Kelima belas, tidak
semua bid ’ah itu
diharamkan. Jika
haram, niscaya
haramlah
pengumpulan Al-
Quran, yang
dilakukan Abu Bakar,
Umur, dan Zaid, dan
penulisannya di
mushaf-mushaf
karena khawatir
hilang dengan
wafatnya para
sahabat yang hafal
Al-Quran. Haram
pula apa yang
dilakukan Umar
ketika
mengumpulkan
orang untuk
mengikuti seorang
imam ketika
melakukan shalat
Tarawih, padahal ia
mengatakan,
“Sebaik-baik bid’ah
adalah ini.” Banyak
lagi perbuatan baik
yang sangat
dibutuhkan umat
akan dikatakan bid ’ah
yang haram apabila
semua bid ’ah itu
diharamkan.
Keenam belas,
peringatan Maulid
Nabi, meskipun tidak
ada di zaman
Rasulullah SAW,
sehingga merupakan
bid’ah, adalah bid’ah
hasanah (bid’ah
yang baik), karena ia
tercakup di dalam
dalil-dalil syara ’ dan
kaidah-kaidah
kulliyyah (yang
bersifat global).
Jadi, peringatan
Maulid itu bid ’ah jika
kita hanya
memandang
bentuknya, bukan
perincian-perincian
amalan yang
terdapat di dalamnya
(sebagaimana
terdapat dalam dalil
kedua belas), karena
amalan-amalan itu
juga ada di masa
Nabi.
Ketujuh belas,
semua yang tidak
ada pada awal masa
Islam dalam
bentuknya tetapi
perincian-perincinan
amalnya ada, juga
dituntut oleh syara’.
Karena apa yang
tersusun dari hal-hal
yang berasal dari
syara ’, pun dituntut
oleh syara’.
Kedelapan belas,
Imam Asy-Syafi’i
mengatakan, “Apa-
apa yang baru (yang
belum ada atau
dilakukan di masa
Nabi SAW) dan
bertentangan
dengan Kitabullah,
sunnah, ijmak, atau
sumber lain yang
dijadikan pegangan,
adalah bid ’ah yang
sesat. Adapun suatu
kebaikan yang baru
dan tidak
bertentangan
dengan yang
tersebut itu, adalah
terpuji.”
Kesembilan belas,
setiap kebaikan yang
tercakup dalam dalil-
dalil syar ’i dan tidak
dimaksudkan untuk
menyalahi syariat
dan tidak pula
mengandung suatu
kemungkaran, itu
termasuk ajaran
agama.
Kedua puluh,
memperingati Maulid
Nabi SAW berarti
menghidupkan
ingatan (kenangan)
tentang Rasulullah,
dan itu menurut kita
disyariatkan dalam
Islam. Sebagaimana
yang Anda lihat,
sebagian besar
amaliah haji pun
menghidupkan
ingatan tentang
peristiwa-peristiwa
terpuji yang telah
lalu.
Kedua puluh satu,
semua yang
disebutkan
sebelumnya tentang
dibolehkannya
secara syariat
peringatan Maulid
Nabi SAW hanyalah
pada peringatan-
peringatan yang
tidak disertai
perbuatan-perbuatan
mungkar yang
tercela, yang wajib
ditentang.
Adapun jika
peringatan Maulid
mengandung hal-hal
yang disertai sesuatu
yang wajib diingkari,
seperti
bercampurnya laki-
laki dan perempuan,
dilakukannya
perbuatan-perbuatan
yang terlarang, dan
banyaknya
pemborosan dan
perbuatan-perbuatan
lain yang tak diridhai
shahthul Maulid, tak
diragukan lagi
bahwa itu
diharamkan. Tetapi
keharamannya itu
bukan pada
peringatan
Maulidnya itu sendiri,
melainkan pada hal-
hal yang terlarang
tersebut. [infokito]
Wallahu a’lam
Wabillahi taufik wal
hidayah
***Disarikan dari
majalah al-Kisah
GLOSSARY:
Sayyid Prof. Dr.
Muhammad ibn
Sayyid ‘Alawi ibn
Sayyid ‘Abbas ibn
Sayyid ‘Abdul ‘Aziz
al-Maliki al-Hasani al-
Makki al-Asy ’ari asy-
Syadzili lahir di
Makkah pada tahun
1365 H. Ayah beliau,
Sayyid Alwi bin
Abbas Almaliki
(kelahiran Makkah th
1328H), seorang alim
ulama terkenal dan
ternama di kota
Makkah. Disamping
aktif dalam
berdawah baik di
Masjidil Haram atau
di kota kota lainnya
yang berdekatan
dengan kota Makkah
seperti Thoif, Jeddah.
Tidak kurang dari
100 buku yang telah
dikarangnya,
semuanya beredar
di seluruh dunia.
Tidak sedikit dari
kitab-kitab beliau
yang beredar telah
diterjemahkan ke
dalam bahasa
Inggris, Prancis,
Urdu, Indonesia dan
lain-lain.
Beliau wafat hari
jumat tanggal 15
Ramadhan 1425 H
(2004 M) dan
dimakamkan di
pemakaman Al-Ma’la
disamping makam
istri Rasulullah SAW.
Khadijah binti
Khuailid Ra. dengan
meninggalkan 6
putra, Ahmad,
Abdullah, Alawi, Ali,
al-Hasan dan al-
Husen dan beberapa
putri-putri

dalil tahlilan

Thawus al-Yamani
adalah seorang
tabi`in terkemuka
dari kalangan ahli
Yaman. Beliau
bertemu dan belajar
dengan 50 – 70
orang sahabat
Junjungan Nabi
s.a.w. Thawus
menyatakan bahawa
orang-orang mati
difitnah atau diuji
atau disoal dalam
kubur-kubur
mereka selama 7
hari, maka adalah
mereka menyukai
untuk diberikan
makanan sebagai
sedekah bagi
pihak si mati
sepanjang
tempoh tersebut.
Hadis Thawus ini
dikategorikan oleh
para ulama kita
sebagai mursal
marfu’ yang sahih.
Ianya mursal marfu’
kerana hanya
terhenti kepada
Thawus tanpa
diberitahu siapa
rawinya daripada
kalangan sahabi dan
seterusnya kepada
Junjungan Nabi
s.a.w. Tetapi oleh
kerana ianya
melibatkan perkara
barzakhiyyah yang
tidak diketahui selain
melalui wahyu maka
dirafa ’kanlah
sanadnya kepada
Junjungan Nabi
s.a.w. Para ulama
menyatakan bahawa
hadis mursal marfu ’
ini boleh dijadikan
hujjah secara mutlak
dalam 3 mazhab
sunni (Hanafi, Maliki
dan Hanbali,
manakala dalam
mazhab kita asy-
Syafi`i ianya
dijadikan hujjah jika
mempunyai
penyokong (selain
daripada mursal
Ibnu Mutsayyib).
Dalam konteks hadis
Thawus ini, ia
mempunyai
sekurang-kurangnya
2 penyokong, iaitu
hadis ‘Ubaid dan
hadis Mujahid. Oleh
itu, para ulama kita
menjadikannya
hujjah untuk amalan
yang biasa
diamalkan oleh
orang kita di rantau
sini, iaitu apabila ada
kematian maka
dibuatlah kenduri
selama 7 hari di
mana makanan
dihidangkan dengan
tujuan bersedekah
bagi pihak si mati.
Hadis Thawus ini
dibahas oleh Imam
Ibnu Hajar dalam
“al-Fatawa al-
Kubra al-
Fiqhiyyah” jilid 2
mukasurat 30.
Imam besar kita ini,
Syaikh Ahmad Ibnu
Hajar al-Haitami as-
Sa ’di al-Anshari
ditanya dengan satu
pertanyaan
berhubung sama
ada pendapat ulama
yang mengatakan
bahawa orang mati
itu difitnah/diuji atau
disoal 7 hari dalam
kubur mereka
mempunyai asal
pada syarak.
Imam Ibnu Hajar
menjawab bahawa
pendapat tersebut
mempunyai asal
yang kukuh (ashlun
ashilun) dalam
syarak di mana
sejumlah ulama
telah meriwayatkan
(1) daripada Thawus
dengan sanad yang
shahih dan (2)
daripada ‘Ubaid bin
‘Umair, dengan
sanad yang
berhujjah
dengannya Ibnu
‘ Abdul Bar, yang
merupakan seorang
yang lebih besar
daripada Thawus
maqamnya dari
kalangan tabi`in,
bahkan ada qil yang
menyatakan bahawa
‘ Ubaid bin ‘Umair ini
adalah seorang
sahabat kerana
beliau dilahirkan
dalam zaman Nabi
s.a.w. dan hidup
pada sebahagian
zaman Sayyidina
‘ Umar di Makkah;
dan (3) daripada
Mujahid.
Dan hukum 3
riwayat ini adalah
hukum hadis
mursal marfu’
kerana persoalan
yang diperkatakan
itu (yakni berhubung
orang mati difitnah 7
hari) adalah perkara
ghaib yang tiada
boleh diketahui
melalui pendapat
akal. Apabila perkara
sebegini datangnya
daripada tabi`i ianya
dihukumkan mursal
marfu’ kepada
Junjungan Nabi
s.a.w. sebagaimana
dijelaskan oleh para
imam hadits. Hadits
Mursal adalah
boleh dijadikan
hujjah di sisi
imam yang tiga
(yakni Hanafi,
Maliki dan Hanbali)
dan juga di sisi
kita (yakni Syafi`i)
apabila ianya
disokong oleh
riwayat lain. Dan
telah disokong
Mursal Thawus
dengan 2 lagi
mursal yang lain
(iaitu Mursal ‘Ubaid
dan Mursal
Mujahid), bahkan
jika kita
berpendapat
bahawa sabit
‘Ubaid itu seorang
sahabat nescaya
bersambunglah
riwayatnya
dengan Junjungan
Nabi s.a.w.
Selanjutnya Imam
Ibnu Hajar
menyatakan bahawa
telah sah riwayat
daripada Thawus
bahawasanya
“mereka
menyukai/
memustahabkan
untuk diberi
makan bagi pihak
si mati selama
tempoh 7 hari
tersebut.” Imam
Ibnu Hajar
menyatakan bahawa
“mereka” di sini
mempunyai 2
pengertian di sisi ahli
hadis dan usul.
Pengertian pertama
ialah “mereka”
adalah “umat pada
zaman Junjungan
Nabi s.a.w. di
mana mereka
melakukannya
dengan diketahui
dan dipersetujui
oleh Junjungan
Nabi s.a.w. ”;
manakala pengertian
kedua pula ialah
“mereka”
bermaksud “para
sahabat sahaja
tanpa dilanjutkan
kepada Junjungan
Nabi s.a.w.” (yakni
hanya dilakukan oleh
para sahabat sahaja).
Ikhwah jadi kita
dimaklumkan
bahawa setidak-
tidaknya amalan
“ ith’aam” ini
dilakukan oleh para
sahabat, jika tidak
semuanya maka
sebahagian daripada
mereka. Bahkan
Imam ar-Rafi`i
menyatakan bahawa
amalan ini masyhur
di kalangan para
sahabat tanpa
diingkari. Amalan
memberi makan
atau sedekah
kematian selama 7
hari mempunyai nas
yang kukuh dan
merupakan amalan
yang dianjurkan oleh
generasi awal Islam
lagi, jika tidak semua
sekurang-kurangnya
sebahagian generasi
awal daripada
kalangan sahabi dan
tabi`in. Oleh itu,
bagaimana dikatakan
ianya tidak
mempunyai
sandaran.
Imam as-Sayuthi
juga telah
membahaskan
perkara ini dengan
lebih panjang lebar
lagi dalam kitabnya
“al-Hawi lil
Fatawi” juzuk 2 di
bawah bab yang
dinamakannya
“Thulu’ ats-
Tsarayaa bi
idhzhaari maa
kaana khafayaa” di
mana antara
kesimpulan yang
dirumusnya pada
mukasurat 194:-
· Sesungguhnya
sunnat
memberi
makan 7 hari.
Telah sampai
kepadaku (yakni
Imam as-Sayuthi)
bahawasanya
amalan ini
berkekalan
diamalkan
sehingga
sekarang (yakni
zaman Imam as-
Sayuthi) di
Makkah dan
Madinah. Maka
zahirnya amalan
ini tidak pernah
ditinggalkan sejak
masa para
sahabat sehingga
sekarang, dan
generasi yang
datang kemudian
telah
mengambilnya
daripada generasi
terdahulu
sehingga ke
generasi awal
Islam lagi (ash-
shadrul awwal).
Dan aku telah
melihat kitab-kitab
sejarah sewaktu
membicarakan
biografi para
imam banyak
menyebut: ” dan
telah berhenti/
berdiri manusia
atas kuburnya
selama 7 hari di
mana mereka
membacakan al-
Quran”.
· Dan telah dikeluarkan
oleh al-Hafidz al-
Kabir Abul Qasim
Ibnu ‘Asaakir
dalam kitabnya
yang berjodol
“Tabyiin
Kadzibil Muftari
fi ma nusiba ilal
Imam Abil
Hasan
al-’Asy’ariy”
bahawa dia telah
mendengar asy-
Syaikh al-Faqih
Abul Fath
NashrUllah bin
Muhammad bin
‘Abdul Qawi al-
Mashishi berkata:
“ Telah wafat asy-
Syaikh Nashr bin
Ibrahim al-
Maqdisi pada hari
Selasa 9
Muharram 490H
di Damsyik. Kami
telah berdiri/
berhenti/berada
di kuburnya
selama 7 malam,
membaca kami
al-Quran pada
setiap malam 20
kali khatam. ”
Ikhwah, “ith`aam”
ini boleh mengambil
apa jua bentuk.
Tidak semestinya
dengan berkenduri
seperti yang lazim
diamalkan orang
kita. Jika dibuat
kenduri seperti itu,
tidaklah menjadi
kesalahan atau
bid`ah, asalkan
pekerjaannya betul
dengan kehendak
syarak.
Kenduri Arwah
– Lujnah Ulama
Fathani
Dalam buku”Ulama
Besar Dari
Fathani” susunan
Ustaz Ahmad Fathi
al-Fathani yang
diterbitkan oleh
Universiti
Kebangsaan
Malaysia, disebut
kisah seorang ulama
Fathani Darussalam,
Haji Abdullah
Bendang Kebun
yang menulis
sebuah kitab
berjodol “al-
Kawaakibun-
Nayyiraat fi Raddi
Ahlil-Bida` wal
‘ Aadaat” di mana
beliau memfatwakan
bahawa buat makan
kematian atau
kenduri arwah
selepas kematian itu
bid`ah makruhah
dan boleh menjadi
haram. Fatwanya ini
lebih kurang sama
dengan fatwa-fatwa
tokoh-tokoh anti
tahlil dan kenduri
arwah zaman kita
ini.
Fatwa ini telah
membuat keluh-
kesah dan
perpecahan dalam
masyarakat di
wilayah-wilayah
Fathani yang rata-
rata mengamalkan
tradisi bertahlil dan
berkenduri arwah
ini. Menyedari
hakikat ini, maka
Lujnah Ulama
Fathani telah
mengambil inisiatif
untuk mengadakan
mudzakarah dan
mesyuarat
berhubung isu ini
yang dihadiri oleh 17
orang ulama
ternama Fathani
termasuklah Haji
Abdullah Bendang
Kebun tersebut.
Yang Dipertua
Lujnah, Tuan Guru
Haji Abdur Rahman
mempengerusikan
mesyuarat tersebut
yang berjalan
dengan lancar serta
membuahkan
keputusan dan
natijah yang
memuaskan. Setelah
hujjah-hujjah pihak
yang menentang
dan menyokong
dikemukakan,
mesyuarat tersebut
telah mencapai
keputusan dan
mengeluarkan satu
resolusi pada 21
Januari 1974 yang
antara lain
menyebut:-
1. Ahli si mati
membuat
makanan kerana
kematian untuk
sedekah pahala
kepada mayyit
dengan ketiadaan
menyeru
(mengundang – p)
oleh mereka,
hukumnya
sunnat dengan
ittifaq Lujnah
Ulama Fathani.
2. Ahli si mati
membuat
makanan dan
memanggil
mereka itu akan
manusia pergi
makan kerana
qasad sedekah
pahalanya, dan
(meng) hadiah
(kan) pahala
jamuan itu kepada
mayyit, maka
hukumnya boleh
(harus) kerana
masuk dalam nas
ith`aam yang
disuruh dalam
hadits Thaawus,
kerana ith`aam itu
melengkapi
jamuan di rumah
si mati atau di
tempat lain.
3. Ahli si mati
membuat
makanan di
rumahnya atau di
rumah si mati
pada hari mati
atau pada hari
yang lain kerana
mengikut adat
istiadat, tidak
kerana qasad
ibadah dan niat
pahalanya kepada
mayyit, maka
hukumnya
makruh dengan
ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani.
4. Ahli si mati
membuat
makanan daripada
tirkah yang
bersabit dengan
umpama hak anak
yatim atau kerana
dipaksa ahli si mati
membuatnya
dengan tidak
sukarelanya dan
ikhlas hatinya,
maka hukumnya
haram dengan
ittifaq ahli Lujnah
Ulama Fathani.
Menghukum sesuatu
hendaklah dibuat
secara teliti dan tafsil
melihat rupa bentuk
sesuatu, bukan
menghukum secara
membabi-buta dan
main pukul rata
haram dan bid`ah
dhalalah sahaja. Lihat
dahulu keadaannya,
bagaimana hendak
dihukumkan haram
jika ahli mayyit yang
telah aqil baligh
dengan rela hati
tanpa terpaksa dan
tidak merasa susah
untuk menjemput
jiran-jiran dan
kenalan untuk hadir
ke rumah si mati
untuk berdoa buat si
mati dan kemudian
dijemput makan
yang semuanya
diniatkan sebagai
sedekah kepada si
mati.
Yang ditentang oleh
ulama kita ialah
mereka yang
menjalankannya
sehingga
menyusahkan diri
dan keluarga si mati
atau semata-mata
menjalankan adat
atau lebih jahat lagi
dengan niat
bermuka-muka atau
riak. Ini yang
difatwakan oleh
Sayyidi Ahmad Zaini
dalam “I`anathuth
– Tholibin” yang
sengaja dikelirukan
oleh Ustaz Rasul
yang dikasihi dengan
sengaja meninggal
menterjemahkan
soalan yang
dikemukakan kepada
Sayyidi Ahmad dan
jawapan beliau
sepenuhnya.
Menghukum haram
secara total amatlah
tidak wajar dan
tindakan sembrono.
Akhirul kalam, satu
soalan, adakah
ulama-ulama Fathani
yang membuat
resolusi di atas tidak
membaca kitab Tok
Syaikh Daud dan
Tuan Minal ? Siapa
yang baca dan
faham kehendak
ibarat kitab-kitab
tersebut ? Mereka
atau yang dikasihi
Ustaz Rasul kita ?
Tepuklah dada
masing-masing.
Allahumma
hidayatan wa
taufiqan ilal haqqi
wash showab.
Hadis Jarir –
Penjelasan
Tuan Guru Haji
Ahmad
Hadis Jarir yang
membawa maksud
“Kami mengira
orang berhimpun
kepada ahli
keluarga si mati
dan menyediakan
makanan selepas
pengkebumiannya
adalah daripada
ratapan (an-
niyahah). ” Hadis ini
menjadi hujjah bagi
meng ”haram” atau
me”makruh”
membuat kenduri
arwah kematian
selepas matinya
seseorang. Adakah
ini pemahaman
yang difahami oleh
para ulama kita ?
Tuan Guru Haji
Ahmad al-Fusani
(1902 – 1996)
memberi penjelasan
dalam kitabnya
“Khulasah al-
Mardhiyyah fi
Masail al-
Khilafiyyah” antara
lain menyatakan
bahawa kalimah
“ minan-niyahah”
dalam hadis tersebut
ditanggung
maknanya sebagai
“ min asbabin
niyahah” iaitu
“setengah
daripada sebab
ditakutkan jadi
niyahah. Maka
bukanlah diri
berhimpun dan
buat makan itu
niyahah sungguh
kerana jikalau
niyahah sungguh
tentulah ulama
kata haram kerana
tiada ada niyahah
yang makruh
sama sekali ”
(yakni jika semata-
mata berhimpun
dan berjamu itu
termasuk ratapan,
maka sudah tentu
ulama akan terus
menghukumnya
haram dan bukan
makruh kerana tidak
ada niyahah yang
hukumnya makruh.
Jadi dihukumkan
bid`ah makruhah
kerana boleh jadi
sebab bagi ratapan
atau boleh
membawa kepada
ratapan, jadi kalau
ikut kaedah ushul ini
yang menjadi ‘illah
bagi dihukumkan
bid`ah makruhah
tersebut, jika ‘illah ini
hilang maka
hukumnya juga
turut berubah).
Soalnya, adakah
kenduri arwah
yang orang kita
buat bersifat
sedemikian ?
Adakah kenduri
kita menjurus
kepada ratapan ?
Selanjutnya Tuan
Guru Haji Ahmad
menyebut :-
· “…Sebuah hadis
yang
meriwayatkan
dia Imam
Ahmad
rahimahUllah
ta ’ala dengan
sanad yang
sahih dan Abu
Daud daripada
‘ Aashim bin
Kulaib daripada
bapanya
daripada
seorang laki-
laki daripada
Anshar berkata
ia: “Keluar kami
sahabat nabi
serta Rasulullah
s.a.w. pada
menghantarkan
jenazah orang
mati kepada
kubur. Maka aku
nampak akan
Rasulullah
s.a.w.
menyuruh
orang yang
menggali kubur
dengan
katanya:
“ Perluas
olehmu
daripada pihak
dua kakinya,
perluas olehmu
daripada pihak
kepalanya ”.
Maka tatkala
balik Nabi
daripada kubur
berhadap
kepadanya
(yakni datang
kepada Nabi)
seorang yang
(mem)persilakan
Nabi ke rumah
daripada
suruhan
perempuan si
mati itu. Maka
Nabi serta
sahabat pun
silalah (yakni
datanglah) ke
rumahnya.
Maka dibawa
datang akan
makanan, maka
(meng)hantar
Nabi akan
tangannya,
yakni
menjemput
Nabi akan
makanan bubuh
ke mulut dan
(meng)hantarlah
segala sahabat
akan
tangannya ”…….Hadis
ini menyatakan
Nabi sendiri
serta sahabat
berhimpun
makan di rumah
orang mati
kemudian
(yakni selepas)
balik tanam
orang
mati…….Jadi
berlawan hadis
ini dengan
hadis Jarir yang
menunjuk atas
tegah
berhimpun
makan di rumah
orang mati
kemudian
daripada tanam
mayyit ……….Setengah
riwayat tak dak
lafaz “ba’da
dafnihi” (kemudian
daripada
tanamnya)
[yakni hadis
Jarir ada khilaf
dalam
riwayatnya
kerana ada
riwayat yang
tidak menyebut
“ ba’da dafnihi“).
Maka orang
tua-tua kita
tanggungkan
bahawasanya
makruh itu
berhimpun
makan di
hadapan mayyit
jua. Inilah
jalanan orang
tua-tua kita.
Sebab itulah
orang kita tidak
berjamu
sewaktu ada
mayyit di atas
rumah, dan jika
darurat kepada
berjamu juga
seperti bahawa
suntuk masa,
diberjamu pada
rumah yang lain
daripada rumah
yang ada
mayyit
padanya ……..Alhasil,
hukum
berhimpun di
rumah ahli
mayyit dan
membuat ahli
mayyit akan
makanan,
berjamu makan
semata-mata
dengan tidak
qasad
bersedekah
daripada mayyit
atau baca al-
Quran niat
pahala kepada
Allah, makruh
tanzih selama
ada mayyit di
atas rumah itu.”
Perkataan ulama kita
yang menghukum
berhimpun dan
berkenduri makan
selama 7 atau 40
hari sebagai bid`ah
makruhah diihtimal
maksudnya jika
perbuatan tersebut
dibuat semata-mata
menjalankan adat
kebiasaan yang jika
tidak dilaksanakan
akan menjadi
cemohan
masyarakat bukan
dengan niat
“ith`aam ‘anil
mayyit” dan
sebagainya. Atau
ianya boleh
membawa kepada
niyahah yang
diharamkan atau
kesedihan yang
berlarutan. Oleh itu,
larangan tersebut
tidaklah bersifat
mutlak tetapi
mempunyai qayyid
yang menjadi ‘illah
pada hukum
tersebut. Dalam
pada itu, Imam Ibnu
Hajar dalam “Fatwa
Kubra”nya
menyatakan bahawa
jika seseorang
berbuat kenduri
tersebut semata-
mata menjalankan
adat untuk menolak
cemohan orang-
orang jahil dan
menjaga
kehormatan dirinya
maka tidaklah ianya
dianggap sebagai
bid`ah
madzmumah. Nanti
aku postkan lain kali.
Seorang saudara
menghantar risalah
yang dalamnya
nukilan perkataan
Imam asy-Syafi`i
yang menyatakan
“Aku benci
diadakan ma’tam,
iaitu himpunan
walaupun tidak
ada tangisan
mereka, kerana
sesungguhnya
pada yang
sedemikian itu
memperbaharui
kedukaan dan
membebankan
tanggungan“.
Membaca nas
perkataan Imam
asy-Syafi`i ini jelas
menunjukkan tidak
mutlaknya
kebencian tersebut
kerana ianya
dikaitkan dengan
“ membaharui
kesedihan” dan
“membebankan”.
Apa kata jika,
perhimpunan
dilakukan adalah
dalam rangka
mendoakan si mati,
bersedekah buat
pihak si mati,
menghibur ahli
keluarga si mati, dan
tidak menjadi beban
kepada keluarga si
mati yang
berkemampuan ?
Adakah Imam kita
asy-Syafi`i masih
membencinya ?
Jadi kalau ada yang
berbuat kenduri
seperti itu rupanya
maka makruhlah kita
datang hadir. Bahkan
jika digunakan tirkah
anak yatim atau
tirkah waris yang
tidak redha atau
sebagainya makan
haram kita hadir. Jadi
hukumnya kena lihat
case by case, bukan
main pukul rata
haram atau makruh
atau harus.
Download kitab dan
risalah ahlusunnah,
kalahkan fatwa sesat
wahabi (bidznillah)!!
http://
www.geocities.com/
pndktmpn/
kitab04.htm
Ibnul Qayyim
(Scan Kitab Ar-
ruh) :
Sampainya
hadiah bacaan
Alqur ’an dan
Bolehnya
membaca Al-
Qur ’an
diatas kuburan
Ibnul Qayyim
(Scan Kitab Ar-
ruh) : Sampainya
hadiah bacaan
Alqur ’an dan
Bolehnya
membaca Al-
Qur ’an diatas
kuburan

wahabi

"WARNING"
Hati-hati terhadap Virus WB2 "WahBaBi":
Sebenarnya muncul Virus WB2 ini semenjak zaman dahulu, dan
makin zaman makin gencar dan parah akibat dari penyebaran
Virus WB2 ini.
**Kategori Virus: Menghantam kekebalan Iman, menyerang secara
langsung melalui pembuluh Aqidah**
Ciri-ciri Virus WB2:
1. Mengatasnamakan Islam bermazhab Sunni (ahlussunnah) tapi
kenyataanya berseberangan dengan mazhab sunni.
2. Mengkafirkan Mazhab apapun yg tidak sejalan dengan Virus ini.
3. Mengadu Domba Sesama Muslim agar terpecah belah.
4. Suka membuat FITNAH.
5. Bila diskusi di dunia maya sering mengcopy paste artikel tanpa
penjelasan panjang / tidak bertanggung jawab akan postingannya
dan menghapus posting2 yang berbau membocorkan Misi Virus
didalam group-group ciptaan Virus ini.
6. Anti Maulid.
7. Anti Ziarah.
8. Anti Tahlil.
9. Memakai celana cingkrang , layaknya Rapper.
Effect dari Virus WB2 :
1. Terpengaruhnya mazhab2 lain agar mengancurkan salah satu
mazhab yg sangat dibenci Virus ini.
2. Terpengaruhnya orang-orang agar melaksanakan Jihad ala
pemikiran Primitif Virus ini (bukan jihad fi sabilillah).
3. Menggendong Bom Bunuh Diri ke Hotel2 atau tempat2 hiburan.
4. Menghukumi suatu masalah Agama menurut emosi dan hawa
nafsu.
5. Bila berdiskusi memakai dalil yang sepotong2, dan seenak
wudel dewe.
WASPADALAH...WASPADALAH...!!!
RENUNGAN:
Bahwa sudah menjadi rahasia umum,.. rezim wahhaby -saudi
terlibat konspirasi besar dengan "yahuud"-"zionist",.. bila kita
analisa melalui kacamata politik global,.. silahkan lihat dijeddah,..
angkatan udara&militer mana yg membawahi??.. jawabanya
adalah: pesawat tempur udara perancis, inggris, usa, dan setan
besar "israel",..
inikah yg namanya "... asyidda' alal-kuffar"??.. adanya malah
bermesraan,..
inikah "ruhama' baynahum"?.. ketika palestine, jalur gaza diblokade
oleh israel,.. dimana saudi yg kaya dngan minyak dan "MENGAKU
ISLAM"??... adanya malah semakin memperparah keadaan dengan
bergandengan mesra ma "zionist".. wal'afwu,.. BUWAT
WAHHABIYYUN silahkan antum baca ulang peta politik global,..

ajakan menghanyutkan

kraaak...seakan
hatiku hancur ketika kau katakan
diriku seperti itu, mungkin aku bisa
saja katakan aku lebih baik darimu
karena mungkin itu maumu,padahal
biasanya aku tak seperti itu........
seinstan kau ajari dirimu dengan
orasi kebenaran menurutmu, tanpa
melihatku. kau tanyakan landasan
dimana aku berjalan, ketika terjawab
kau hanya mengatakan itu bukan
kebenaran, sakit ketika kau katakan
"ini hanya dongeng bualan".....biar
apa katamu tak kupedulikan, aku
telah lebur dalam imaji cinta di bulan
ini, tapi yang tak pernah kumengerti
disekujur pengetahuanku siapakah
sebenarnya dirimu?

alam tanda kebesaran dan keberada.an allah

Mengingat Allah Dengan
Membaca Alam Cetak E-mail
Senin, 26 Oktober 2009 01:46
"Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan
silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal." -QS
Ali Imran: 190-
Tsabit Bannani berkata,"Suatu ketika
Nabi Daud a.s melewati sebuah
lampu penerang yang sedang
menyala. Kemudian, dia teringat
akan api neraka yang dahsyat. Maka,
seketika itu juga dia bergetar dan
menjerit dengan keras sehingga
tampak anggota badan dan sendi-
sendinya akan terputus."
Demikianlah di antara akhlak sufi
yang mulia. Seorang sufi sejati
selalu memandang dunia dengan
pandangan iktibar (pelajaran) bukan
pandangan syahwat dan rasa
senang.
Hatim AlAshamm pernah di
tanya,"Kapan salah seorang di
antara kita dapat menjadi orang
yang selalu mengambil pelajaran?"
Hatim Menjawab,"Apabila orang itu
dapat melihat bahwa apapun di
dunia akan sirna dan bahwa orang
yang memiliki kekayaan dunia juga
akan sirna."
Yahya bin Muadz
berkata,"Hendaklah pandanganmu
terhadap dunia adalah pandangan
iktibar, pemanfaatanmu pada dunia
adalah keterpaksaan, dan
penolakanmu pada dunia adalah
pilihan."
Selanjutnya para sufi senantiasa
melihat proses penciptaan alam
sebagai sarana menuju (Keridhaan)
Allah. Mereka selalu membaca
berbagai hikmah yang ada di balik
alam. Mereka menafakuri semuanya
hingga menghasilkan rumusan
pengetahuan purna yang berguna
bagi kehidupan manusia setelah
mereka. Matahari, bumi dan langit di
pandang oleh mereka bukan
sekadar untuk dinikmati
keindahannya, tetapi untuk
direnungkan hikmah dibaliknya.
Jika kita menafakuri alam ini dengan
pikiran jernih, kita akan menemukan
bahwa alam semesta bagaikan
bangunan rumah yang
menyediakan berbagai perlengkapan
yang sempurna. Langit ditinggikan
seperti atap, bumi dihamparkan
seperti lantai, bintang-bintang
ditaburkan seperti lampu, dan
barang-barang tambang di perut
bumi ibarat kekayaan yang
terpendam. Semua itu disiapkan dan
disediakan untuk kepentingan alam
itu. Sementara itu, manusia ibarat
pemilik rumah yang dianugerahi
segala isinya. Berbagai jenis
tumbuhan disediakan untuk
memenuhi kebutuhannya dan
bermacam-macam hewan diberikan
untuk menopang kehidupannya.
Allah SWT telah menciptakan langit
ini dengan warna yang dapat di
pandang mata. Seandainya langit
diciptakan dalam bentuk sinar atau
cahaya, pasti akan menyakitkan
mata orang yang memandangnya.
Warna kebiru-biruan membuat
mata manusia bisa menikmati
pemandangan langit.. Apalagi ketika
malam mengganti siang, dan
bintang-bintang serta bulan
bercahaya terang, manusia dapat
memandang ciptaan Allah. Dan,
dalam keindahan langit, manusia
dapat menemukan Tuhan, Pencipta
jagat raya.
Selanjutnya ketika menyadari
keindahan langit, manusia akan
merenungkan keindahan tata surya.
Perputaran bintang-bintang
memberikan petunjuk arah dan
waktu kepada manusia. Ada
lintasan-lintasan yang bekas-
bekasnya dapat terlihat di barat dan
di timur. Ada juga kumpulan
bintang yang membentuk rasi
tertentu sehingga menjadi petunjuk
arah bagi orang yang tersesat.
Dengan petunjuk rasi bintang,
manusia dapat menemukan arah
yang ditujunya.
Keberadaan tata surya langit
menjadi dalil yang jelas tentang
keberadaan Tuhan yang
menciptakannya. Rancangan langit
yang sangat kukuh menunjukkan
keluasan ilmu penciptanya.
Keteraturannya menunjukkan
kehendak penciptanya. Karena itu,
Maha suci Allah yang Maha Kuasa,
Maha Tahu, dan Maha Berkehendak.
Sebagian ulama menuturkan
sepuluh keuntungan dalam
memandang langit, Yaitu:
1. Mengingatkan kepada Allah SWT,
2. Memancarkan pengagungan
kepada Allah dalam hati,
3. Menghilangkan pikiran buruk,
4. Mengurangi rasa suntuk,
5. Mengendorkan perasaan was-
was,
6. Menghilangkan perasaan takut,
7. Memberikan semangat bagi
orang yang patah hati,
8. Menghibur orang yang sedang di
landa rindu,
9. Memberikan rasa tenteram bagi
orang yang sedang jatuh cinta,
10. Kiblat bagi orang-orang yang
sedang berdoa.

73 golongan islam

Tentang Islam akan terpecah
menjadi banyak golongan
“Akan ada segolongan umatku yang
tetap atas Kebenaran sampai Hari
Kiamat dan mereka tetap atas
Kebenaran itu.” HR. Bukhari dan
Muslim.
Rasulullah Saw lewat riwayat Jabir
Ibnu Abdullah bersabda :
“ Akan ada generasi penerus
dari umatku yang akan memperjuangkan
yang haq, kamu akan mengetahui
mereka nanti pada hari kiamat, dan
kemudian Isa bin
Maryam akan datang, dan orang-
orang akan berkata, “Wahai Isa,
pimpinlah jamaa’ah (sholat),
ia akan berkata, “Tidak, kamu
memimpin satu sama lain, Allah
memberikan kehormatan pada
umat ini (Islam) bahwa tidak
seorang pun akan memimpin
mereka kecuali Rasulullah SAW dan
orang-orang mereka sendiri.”
Hadis tentang sejumlah 73
golongan yang terpecah dalam
Islam
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
“Orang-orang Yahudi terpecah
kedalam 71 atau 72 golongan,
demikian juga orang-orang Nasrani,
dan umatku akan terbagi kedalam
73 golongan.” HR. Sunan Abu Daud.
Dalam sebuah kesempatan,
Muawiyah bin Abu Sofyan berdiri
dan memberikan khutbah dan
dalam khutbahnya diriwayatkan
bahwa dia berkata, “Rasulullah SAW
bangkit dan memberikan khutbah,
dalam khutbahnya beliau berkata,
'Millah ini akan terbagi ke dalam 73
golongan, seluruhnya akan masuk
neraka, (hanya) satu yang masuk
surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-
Jamaa’ah. Dan dari kalangan umatku
akan ada golongan yang mengikuti
hawa nafsunya, seperti anjing
mengikuti tuannya, sampai hawa
nafsunya itu tidak menyisakan
anggota tubuh, daging, urat nadi
(pembuluh darah) maupun tulang
kecuali semua mengikuti hawa
nafsunya.” HR. Sunan Abu Daud.
Dari Auf bin Malik, dia berkata
bahwa Rasulullah Saw
bersabda:"Yahudi telah berpecah
menjadi
71 golongan, satu golongan di surga
dan 70 golongan di neraka. Dan
Nashara telah berpecah belah
menjadi 72 golongan,
71 golongan di neraka dan satu di
surga. Dan demi Allah yang jiwa
Muhammad ada dalam tangan-Nya
umatku ini pasti akan berpecah
belah menjadi 73
golongan, satu golongan di surga
dan 72 golongan di neraka." Lalu
beliau ditanya: "Wahai Rasulullah
siapakah mereka ?" Beliau
menjawab: "Al Jamaah." HR Sunan
Ibnu Majah.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw bersabda: “Orang-
orang Bani Israil akan terpecah
menjadi 71 golongan dan umatku
akan terpecah kedalam 73 golongan,
seluruhnya akan masuk neraka,
kecuali satu, yaitu Al-Jamaa’ah.” HR.
Sunan Ibnu Majah.
“Bahwasannya bani Israel telah
berfirqah sebanyak 72 firqah
dan akan berfirqah umatku
sebanyak 73 firqah,
semuanya akan masuk Neraka
kecuali satu.” Sahabat-sahabat yang
mendengar ucapan ini bertanya:
“Siapakah yang satu itu Ya
Rasulullah?” Nabi menjawab: ” Yang
satu itu ialah orang yang berpegang
sebagai peganganku dan pegangan
sahabat-sahabatku.” HR Imam
Tirmizi.
Abdullah Ibnu Amru meriwayatkan
bahwa Rasulullah Saw bersabda :
“Umatku akan menyerupai Bani
Israil selangkah demi selangkah.
Bahkan jika seseorang dari mereka
menyetubuhi ibunya secara terang-
terangan, seseorang
dari umatku juga akan mengikutinya.
Kaum Bani Israil terpecah menjadi
72 golongan. Umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan,
seluruhnya akan masuk neraka,
hanya satu yang masuk surga.”
Kami (para shahabat) bertanya,
“Yang mana yang selamat ?”
Rasulullah Saw menjawab, “ Yang
mengikutiku dan para
shahabatku.” HR Imam Tirmizi.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Orang-orang Yahudi terbagi dalam
71 golongan atau 72 golongan dan
Nasrani pun demikian. Umatku akan
terpecah menjadi 73
golongan.” HR Imam Tirmizi.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani,
”Demi Tuhan yang memegang jiwa
Muhammad di tangan-
Nya, akan berpecah umatku sebanyak 73 firqah,
yang satu masuk Syurga dan yang
lain masuk Neraka.” Bertanya para
Sahabat: “Siapakah (yang tidak
masuk Neraka) itu Ya
Rasulullah?” Nabi menjawab:
“Ahlussunnah wal Jamaah.”
Mu’awiyah Ibnu Abu Sofyan
meriwayatkan bahwa Rosulullah
SAW bersabda : “Ahlul kitab
(Yahudi dan Nasrani) dalam masalah
agamanya terbagi menjadi
72 golongan dan dari umat ini
(Islam) akan terbagi menjadi 73
golongan, seluruhnya masuk
neraka,
satu golongan yang akan masuk
surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-
Jamaa’ah. Dan akan ada dari umatku
yang mengikuti hawa nasfsunya
seperti anjing mengikuti tuannya,
sampai hawa nafsunya itu tidak
menyisakan anggota tubuh, daging,
pembuluh darah, maupun tulang
kecuali semua mengikuti hawa
nafsunya. Wahai orang Arab! Jika
kamu tidak bangkit dan mengikuti
apa yang dibawa
Nabimu…” HR.Musnad Imam
Ahmad.
Umat islam terpecah menjadi 7
golongan besar yaitu:
1. Mu'tazilah, yaitu kaum yang
mengagungkan akal pikiran dan
bersifat filosofis, aliran ini dicetuskan
oleh Washil bin Atho (700-750 M)
salah seorang murid Hasan Al Basri.
Mu’tazilah memiliki 5 ajaran utama,
yakni :
1. Tauhid. Mereka berpendapat :
Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri.
al-Qur'an ialah makhluk.
Allah di alam akhirat kelak tak terlihat
mata manusia. Yang terjangkau
mata manusia bukanlah Ia.
2. Keadilan-Nya. Mereka berpendapat
bahwa Allah SWT akan memberi
imbalan pada manusia sesuai
perbuatannya.
3. Janji dan ancaman. Mereka
berpendapat Allah takkan ingkar
janji: memberi pahala pada
muslimin yang baik dan memberi
siksa pada muslimin yang jahat.
4. Posisi di antara 2 posisi. Ini
dicetuskan Wasil bin Atha yang
membuatnya berpisah dari
gurunya, bahwa mukmin berdosa
besar, statusnya di antara mukmin
dan kafir, yakni fasik.
5. Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik)
dan nahi munkar (mencegah
perbuatan yang tercela). Ini lebih
banyak berkaitan dengan hukum/
fikih.
Aliran Mu’tazilah berpendapat dalam
masalah qada dan qadar, bahwa
manusia sendirilah yang
menciptakan perbuatannya. Manusia
dihisab berdasarkan perbuatannya,
sebab ia sendirilah yang
menciptakannya.
Golongan Mu'tazilah pecah menjadi
20 golongan.
2. Syiah, yaitu kaum yang
mengagung-agungkan Sayyidina Ali
Kw, mereka tidak mengakui khalifah
Rasyidin yang lain seperti Khlifah
Sayyidina Abu Bakar, Sayidina Umar
dan Sayyidina Usman bahkan
membencinya. Kaum ini di sulut
oleh Abdullah bin Saba, seorang
pendeta yahudi dari Yaman yang
masuk islam. Ketika ia datang ke
Madinah tidak mendapat perhatian
dari khalifah dan umat islam lainnya
sehingga ia menjadi jengkel.
Golongan Syiah pecah menjadi 22
golongan dan yang paling parah
adalah Syi'ah Sabi'iyah.
3. Khawarij, yaitu kaum yang
sangat membenci Sayyidina Ali Kw,
bahkan mereka mengkafirkannya.
Salah satu ajarannya Siapa orang
yang melakukan dosa besar maka di
anggap kafir. Golongan Khawarij
Pecah menjadi 20 golongan.
4. Murjiah.
Al-Murji’ah meyakini bahwa seorang
mukmin cukup hanya
mengucapkan “Laailahaillallah” saja
dan ini terbantah dengan pernyataan
hadits bahwa dia harus mencari
dengan hal itu wajah Allah, dan
orang yang mencari tentunya
melakukan segala sarananya dan
konsekuensi-konsekuensi
pencariannya sehingga dia
mendapatkan apa yang dia cari dan
tidak cukup hanya mengucapkan
saja. Jadi menurut al-murji ’ah
bahwa cukup mengucapkan
“ Laailahaillallah” dan setelah itu dia
berbuat amal apa saja tidak akan
mempengaruhi keimanannya, maka
ini jelas bertentangan dengan hadits
“ dia mencari dengan itu wajah
Allah”, maka ini adalah bentuk
kesesatan al-murji’ah.
Al-Mu’tazilah dan Al-Khawarij
meyakini bahwa seorang yang
melakukan dosa-dosa besar kekal
didalam api neraka, dan ini terbantah
dengan sabda Rasulullah
“ sesungguhnya Allah
mengharamkan atas api neraka
orang yang mengucapkan
Laailahaillallah ”. Menurut Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah bahwasanya
pengharaman api neraka membakar
orang-orang yang mengucapkan
“ Laailahaillallah” itu ada dua, pertama
pengharaman secara mutlak dan ini
bagi orang yang mengucapkan
“ Laailahaillallah” dengan
mendatangkan seluruh syarat-
syaratnya, konsekuensi-
konsekuensinya dan kandungan-
kendungannya sehingga dia terlepas
dari syirik besar, syirik kecil dan
perbuatan-perbuatan dosa besar,
kalaupun dia terjatuh kepada
perbuatan dosa maka dia bertaubat
dan tidak terus menerus diatasnya,
maka orang yang sempurna
tauhidnya seperti ini diharamkan api
neraka untuk membakarnya secara
mutlak, yakni dia tidak disentuh oleh
api neraka sama sekali. Kemudian
yang kedua, yaitu pengharaman
yang tidak mutlak dan bersifat
kurang, yang dimaksud yaitu
pengharaman untuk kekal didalam
api neraka, ini bagi orang-orang
yang kurang tauhidnya sehingga dia
terjatuh kedalam syirik kecil atau
dosa-dosa besar yang dia terus
menerus didalamnya, maka orang
yang demikian ini diharamkan atas
api neraka untuk membakarnya
dalam jangka waktu yang kekal
selama dia belum mengugurkan
tauhidnya ketika didunia. Oleh
karena itu pendapat al-mu ’tazilah
dan al-khawarij yang menyatakan
bahwa pelaku dosa besar kekal
didalam api neraka, ini adalah
pendapat yang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah.
Tidak ada dzikir yang lebih utama
didunia ini kecuali “Laailahaillallah”.
Salah satu sebab dikabulkannya doa
adalah dengan menggunakan sifat
Allah dan nama-Nya, secara khusus
memanggil Allah dengan uluhiyah-
Nya, meminta dan berdoa kepada
Allah dengan menyebutkan
rububiyah-Nya.
“Laailahaillallah” merupakan dzikr
dan doa, disebut dengan doa karena
orang yang mengucapkan
“Laailahaillallah” mengharapkan ridha
Allah dan ingin sampai kepada
surga-Nya.
Golongan Murjiah pecah menjadi 5
golongan.
5. Najariyah, Kaum yang
menyatakan perbuatan manusia
adalah mahluk, yaitu dijadikan
Tuhan dan tidak percaya pada sifat
Allah yang 20. Golongan Najariyah
pecah menjadi 3 golongan.
6. Al Jabbariyah, Kaum yang
berpendapat bahwa seorang hamba
adalah tidak berdaya apa-apa
(terpaksa), ia melakukan maksiyat
semata-mata Allah yang
melakukan. Golongan Al Jabbariyah
pecah menjadi 1 golongan.
7. Al Musyabbihah / Mujasimah,
kaum yang menserupakan pencipta
yaitu Allah dengan manusia, misal
bertangan, berkaki, duduk di
kursi. Golongan Al Musyabbihah /
Mujasimah pecah menjadi 1
golongan.
Dan satu golongan yang selamat
adalah Ahli Sunah Wal Jama'ah.
Ahli Sunah wal Jama'ah.
1. Pengertian.
Secara etimologi Ahli adalah
kelompok/keluarga/pengikut. Sunah
adalah perbuatan-perbuatan
Rasulullah yang diperagakan beliau
untuk menjelaskan hukum-hukum
Al Qur'an yang dituangkan dalam
bentuk amalan. Al Jama'ah yaitu Al
Ummah ( Al Munjid) yaitu
sekumpulan orang-orang beriman
yang di pimpin oleh imam untuk
saling bekerjasama dalam hal
urusan yang penting.
Menurut istilah Ahli Sunah wal
Jama'ah adalah sekelompok orang
yang mentaati sunah Rasulullah
secara berjama'ah, atau satu
golongan umat islam di bawah satu
komando untuk urusan agama
islam sesuai dengan ajaran
Rasulullah dan para sahabatnya.
2.Syarat terbentuknya Al Jama'ah.
Secara singkat telah diterangkan
oleh Sayyidina Umar RA: " Tidak ada
islam kecuali dengan jama'ah, Tidak
ada jama'ah kecuali dengan imam,
Tidak ada imam kecuali dengan
Bai'at, Tidak ada bai'at kalau tidak ada
taat.
Dan bai'at bukanlah syahadat,
sebagaimana yang diyakini oleh
mereka yang salah, dan apalagi
dengan pengkafiran diluar kelompok
tersebut.
3. Terpeliharanya islam.
Dalam masa-masa kerusakan islam
Allah menunjukkan kasih sayangnya
dengan membangkitkan para
mujadidnya setiap 100 tahun sekali
yang meluruskan kembali
pemahaman ajaran Rasul sesuai
dengan kebutuhan pemahaman
mereka saat itu hingga turunnya
masa imam Mahdi.
Dari berbagai sumber.

Selasa, 23 Februari 2010

Sakit

Hampir 1minggu sakit
berfikir dalam hati mencari hikmah dalam sakit q ..hmf
ternyata amatlah sulit namun mungkin kita harus brusaha untuk berfikir
.. Tp jujur aja kadang yang ada hanya ratapan hehe
.. Menela,ah lagi makna basmala tuhan maha pengash juga penyayang tapi mengapa dia menciptakan sakit pada manusia
.subhanallah, sakit mang arah kita untuk meresapi kehidupan karna tiada ksbukan
.sjuta hikmah ada di sana
.meski yg q temukan dalam sakit q ini hanyalah secuil tapi q yakin mash bnyak yg tersimpan tak terfikirkan karna sehat kita penuh dngan aktftas dan ksbukan
.. Yg jadi pertanya,an q skarang maukah anda sakit?

Askum
by
dizk

Template by : kendhin x-template.blogspot.com