Sabtu, 10 Desember 2011

dzikir berjamaah

Dzikir Berjamaah Sejak Zaman Rosul SAW
oleh Thariqat Sarkubiyah pada 1 Maret 2011 pukul 8:09

oleh Ustadz Muhammad Arifin Ilham







Sekte wahabi muncul pada abad 14 hijriah, mereka ini merupakan penyakit dalam tubuh muslimin yg telah menyerang hampir seluruh Negara muslimin dimuka bumi.

Mereka ini selalu mengada adakan dan mempermasalahkan hal hal yg tidak pernah dipermasalahkan oleh Ulama Besar, Para Imam, para Tabi’in, para sahabat, bahkan Rasul saw.

Hal ini, tidak mengakategorikan Ibn Abdulwahhab sebagai Imam Madzhab, karena seorang Imam Madzhab adalah orang yg suci dari mencaci maki muslimin, apalagi menganggap musyrik pada ahli syahadat, atau menganggap perbuatan sahabat rasul radhiyallahu’anhum adalah Bid?ah munkarah.

Imam madzhab adalah pewaris Rasul saw, orang yg berjiwa arif dan lidahnya selalu basah berdzikir kepada Allah, mendoakan yg sesat, mendoakan hidayah bagi orang kafir, demikian pulalah Lidah Rasul saw.



Dzikir berjamaah sejak zaman Rasul saw, sahabat, tabi’in tak pernah dipermasalahkan, bahkan merupakan sunnah rasul saw, dan pula secara akal sehat, semua orang mukmin akan asyik berdzikir,

dan hanya syaitan yg benci akan hangus terbakar dan tak tahan mendengar suara dzikir. kita bisa bandingkan mereka ini dari kelompok mukmin, atau kelompok syaitan yg sesat.., dengan cara mereka yg memprotes dzikir jamaah, telinga mereka panas, dan ingin segera kabur bila mendengar jamaah berdzikir.



1). para sahabat berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu?anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan : “HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..”. (Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq). Perlu diketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi’in.



2). saat membangun Masjidirrasul saw : mereka bersemangat sambil bersenandung : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah” setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah.. ” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’ masjidissyarif hal 116)



3). ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain



4). Firman Allah swt : “SABARKANLAH DIRIMU BERSAMA KELOMPOK ORANG ORANG YG BERDOA PADA TUHAN MEREKA SIANG DAN MALAM SEMATA MATA MENGINGINKAN KERIDHOAN NYA, DAN JANGANLAH KAU JAUHKAN PANDANGANMU (dari mereka), UNTUK MENGINGINKAN KEDUNIAWIAN.” (QS Alkahfi 28)

Ayat ini turun ketika Salman Alfarisi ra berdzikir bersama para sahabat, maka Allah memerintahkan Rasul saw dan seluruh ummatnya duduk untuk menghormati orang2 yg berdzikir.

Mereka (sekte wahabi) mengatakan bahwa ini tidak teriwayatkan bentuk dan tata cara dzikirnya, ah..ah?ah.. Dzikir ya sudah jelas dzikir.., menyebut nama Allah, mengingat Allah swt, adakah lagi ingin dicari pemahaman lain?,



5). Sahabat Rasul radhiyallahu’anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya merekapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah..,

Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar,

ah..ah..ah.. mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini..,



maka kalau ada pertanyaan : “siapakah yg pertama kali mengajarkan Bid’ah hasanah?, maka kita dengan mudah menjawab, yg pertama kali mengajarkannya adalah para Sahabat Rasul saw, karena saat itu Umar ra setelah bersepakat dengan seluruh sahabat untuk jamaah tarawih, lalu Umar ra berkata : “WA NI’MAL BID’AH HADZIH..”. (inilah Bid’ah yg terindah).

Siapa lebih tahu makna menghindari bid’ah?, Umar bin Khattab ra, makhluk nomer dua paling mulia di ummat ini bersama seluruh sahabat radhiyallahu’anhum.., atau madzhab sempalan abad ke 20 ini.



6). Lalu para tabi’in sebab cinta mereka pada sahabat, maka mereka menggelari setiap menyebut nama sahabat dengan ucapan Radhiyalahu’anhu/ha/hum. Inipun tak pernah diajarkan oleh Rasul saw, tak pula pernah diajarkan oleh sahabat, walaupun itu berdalilkan beberapa ayat didalam alqur’an bahwa bagi mereka itu kerdhoan Allah, namun tak pernah ada perintah dari Rasul saw untuk menggelari setiap nama sahabat beliau saw dg ucapan radhiyallahu’anhu/ha/hum.

Inipun Bid’ah hasanah, kita mengikuti Tabi’in mengucapkannya krn cinta kita pd Sahabat.



7). Khalifah Umar bin Abdul Aziz menambahkan lagi dengan menyebut nyebut nama para Khulafa?urrasyidin dalam khotbah kedua pada khutbah jumat, Ied dll.., inipun bid?ah, tak pernah diperbuat oleh para Tabi’in, Sahabat, bahkan Rasul saw, namun diada adakan karena telah banyak kaum mu’tazilah yg mencaci sahabat dan melaknat para Khulafa’urrasyidin, maka hal ini mustahab saja, (baik dilakukan), tak ada pula yg benci dengan hal ini kecuali syaitan dan para tentaranya.



Lalu kategori Bid’ah ini pun muncul entah darimana?, membawa hadits : “Semua Bid'ah adalah sesat dan semua sesat adalah di neraka”. Menimpakan hadits ini pada kelompok sahabat. Ah..ah..ah… adakah seorang muslim mengatakan orang yg memanggil nama Allah Yang Maha Tunggal, menyebut nama Allah dengan takdhim, berdoa dan bermunajat, mereka ini sesat dan di neraka?,

Orang yg berpendapat ini berarti ia telah mengatakan seluruh nama nama diatas adalah penduduk neraka termasuk Umar bin Khattab ra dan seluruh sahabat, dan seluruh tabi?in, dan seluruh ulama ahlussunnah waljama’ah termasuk Sayyidina Muhammad saw, yg juga diperintah Allah untuk duduk bersama kelompok orang yg berdoa, dan beliau lah saw yg mengajarkan doa bersama sama.



Kita di Majelis Majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka..



Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal?, menggemakan nama Allah?,

apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi?.??!!

Seribu dalil mereka cari agar Nama Allah tak lagi dikumandangkan.. cukup berbisik bisik..!, sama dengan komunis yg melarang meneriakkan nama Allah, dan melarang kumpulan dzikir..

Adakah kita masih bisa menganggap kelompok wahabi ini adalah madzhab..?!!



Kita Ahlussunnah waljama?ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama.

Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman : “BILA IA (HAMBAKU) MENYEBUT NAMAKU DALAM DIRINYA, MAKA AKU MENGINGATNYA DALAM DIRIKU, BILA MEREKA MENYEBUT NAMAKAU DALAM KELOMPOK BESAR, MAKA AKUPUN MENYEBUT (membanggakan) NAMA MEREKA DALAM KELOMPOK YG LEBIH BESAR DAN LEBIH MULIA”. (HR Bukhari Muslim).



Saran saya, kita doakan saja madzhab sempalan abad ke 20 ini, agar mereka diberi hidayah dan kembali kepada kebenaran.

Wahai Allah, telah terkotori permukaan Bumi Mu dengan sanubari sanubari yg disesatkan syaitan, maka hujankanlah hidayah Mu pada mereka agar mereka mau kembali pd kebenaran, beridolakan sang Nabi saw, beridolakan Muhajirin dan Anshar, berakhlak dengan akhlak mereka, sopan dan rendah hati sebagaimana mereka.

Demi Kemuliaan Ramadhan, Demi Kemuliaan Shiyaam walqiyaam, Demi Kemuliaan Nuzululqur’an, dan Demi Kemuliaan Muhammad Rasulullah saw, amiin.

Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=348819505547&id=100000179846390

keberada an allah

DALIL-DALIL YANG MENUNJUKKAN BAHWA ALLAH TA`ALA WUJUD TANPA TEMPAT DAN TIDAK BERHAJAT KEPADA `ARASY DAN TEMPAT
oleh Thariqat Sarkubiyah pada 6 Februari 2011 pukul 18:42

Oleh : Al Asyairah Asy Syaf'i

AL QURAN





Allah ta`ala berfirman:



Maksudnya:



"(Oleh kerana Allah Menguasai segala-galanya, maka) Wahai umat manusia, kamulah yang sentiasa berhajat kepada Allah (dalam Segala perkara), sedang Allah Dia lah sahaja Yang Maha Kaya, lagi Maha Terpuji".





(Surah al-Faathir : 15)





Firman Allah ta`ala:





Maksudnya:



"Sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak berhajatkan sesuatupun) daripada sekalian (alam) makhluk (`Arasy, Kursi, langit, tempat dan lain-lain)".





(Surah Al-Ankabut : 6)

Apabila kita mengatakan bahawa Allah ta`ala berhajat kepada makhluk yang diciptakan-Nya, nescaya lemahlah Allah ta`ala. Apabila lemah, maka Dzat tersebut tidak layak untuk dijadikan Tuhan. Ini adalah kerana, lemah itu sifat makhluk. Setiap yang lemah pasti ada (berhajat kepada) yang memperkuatkannya. Maka, mustahil Allah ta`ala berhajat kepada makhluk yang diciptakan-Nya.





AL HADIS





Rasulullah sallallahu`alaihi wa sallam bersabda:





"كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ".





Maksudnya:



\“Allah telah wujud (pada azali) sedang sesuatu selain-Nya masih belum wujud”.







[Diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn Jarud]





Al-Hafiz Ibn al-Hajar al-`Asqalani (W. 852 H) telah menghuraikan hadis di atas di dalam kitabnya Fath al-Bari dengan katanya[1]:





"وَالْمُرَادُ بِكَانَ فِي الأَوَّلِ الأَزَلِيَّةُ وَفِي الثَّانِي الْحُدُوْثُ بَعْدَ الْعَدَمِ".





Maksudnya:



“Dan maksud kana dalam lafaz yang pertama ialah keazalian (kewujudan tanpa didahului oleh ketiadaan atau kewujudan tanpa permulaan) dan dalam lafaz kedua ialah kebaharuan selepas ketiadaan (kewujudan yang didahului oleh ketiadaan atau kewujudan yang ada permulaan)”.





Al-Hafiz Abu Bakr Ahmad Ibn al-Husayn al-Bayhaqi (W. 458 H) juga mensyarahkan hadis tersebut di dalam kitabnya al-Asma’ Wa al-Sifat dengan berkata:





"يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ لا الْمَاءَ وَلا الْعَرْشَ وَلا غَيْرَهُمَا وَكُلُّ ذَلِكَ أَغْيَارٌ."





Maksudnya:



"(Hadis ini) Menunjukkan bahawa Allah ta`ala sudah wujud walaupun selain-Nya belum ada, air tidak ada, `Arasy tidak ada dan selain kedua-dua benda itu dan semua itu adalah bukan Allah ta`ala."





Justeru, Allah taala telah wujud sejak dari azali dalam keadaan tiada suatupun yang bersama keazalian-Nya. Tiada sesuatu pun sama ada air, udara, bumi, langit, `Arasy, Kursi, manusia, jin, malaikat, tempat dan lain-lain daripada makhluk yang menyerupai-Nya. Oleh itu, Allah taala wujud sebelum kewujudan tempat tidak bertempat, dan Dia-lah yang telah mencipta tempat dan `Arasy serta Dia tidak berhajat sama sekali kepada ciptaan-Nya.





Rasulullah sallallahu`alaihi wa sallam bersabda:





"اللَّهُمَّ أَنتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٍ, وَأَنتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ, وَأَنتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ."





Maksudnya:



“Ya Allah! Engkau al-Awwal maka tiada suatupun sebelum-Mu, Engkau al-Akhir maka tiada suatupun selepas-Mu, Engkau al-Zahir maka tiada suatupun di atas-Mu, dan Engkau al-Batin maka tiada suatupun di bawah-Mu”.





[Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim]





Al-Hafiz Abu Bakr Ahmad ibn al-Husayn al-Bayhaqi (W. 458 H) berkata dalam kitabnya al-Asma’ wa al-Sifat[2]:





"وَأَنَّهُ الظَّاهِرُ فَيَصِحُّ إِدْرَاكُهُ بِالأَدِلَّةِ, الْبَاطِنُ فَلايَصِحُّ إِدْرَاكُهُ بِالْكَوْنِ فِي مَكَانٍ. وَاسْتَدَلَّ بَعْضُ أَصْحَابنِاَ نَفْيُ الْمَكَانِ عَنِ اللهِ تَعَالَى بِقَوْلِ النَّبِيِّ: ((أَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ)) وَإِذَا لَمْ يَكُنْ فَوْقَهُ شَيْءٌ وَلا دُوْنَهُ شَيْءٌ لَمْ يَكُنْ فِي مَكَانٍ".





Maksudnya:



"Allah ta`ala itu Maha Zahir kerana (kewujudan-Nya) boleh didapati dengan bukti-bukti (daripada kekuasaan-Nya melalui alam ini) dan Maha Batin kerana tidak boleh didapati (kewujudan-Nya) secara bertempat. Sebahagian para sahabat kami mengambil dalil tentang penafian tempat daripada Allah taala dengan sabdaan Nabi : ((أنت الظاهر فليس فوقك شيء وأنت الباطن فليس دونك شيء)) iaitu Engkaulah (Allah) yang Zahir dan tidak ada sesuatupun di atas-Mu dan Engkaulah yang Batin dan tidak ada sesuatupun dibawah-Mu). Dan jika tiada suatupun di atas-Nya dan tiada sesuatupun di bawah-Nya maka Allah tidak berada di suatu tempat pun".





SAHABAT





Al-Misbah al-Munir wa Sabah al-Tafrid al-Sahabi al-Jalil wa al-Khalifah al-Rashid Sayyiduna `Ali ibn Abi Talib radiyallahu`anhu (W. 40 H) berkata[3]:





."كَانَ – أَيْ الله – وَلا مَكَانَ وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ"





Maksudnya:



"Allah wujud sejak azali, dan sedangkan pada ketika itu suatu tempat pun tidak ada dan Dia sekarang dengan keadaan yang Dia telah ada (wujud-Nya azali dan abadi tanpa bertempat)".





Diriwayatkan oleh Abu Nu`aim di dalam kitabnya Hilyah al-Auliya’, beliau berkata : Diceritakan pada kami oleh Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Al-Haris, diceritakan pada kami oleh Al-Fadhl Al-Hibab Al-Jamhiy, diceritakan pada kami oleh Musaddad, diceritakan pada kami oleh Abdul Waris bin Sa`d, diceritakan pada kami oleh Muhammad bin Ishaq dari Nu`man bin Sa`d, beliau berkata : Ketika saya di Kuffah berada dalam Darul Imaroh rumah Sayyidina Ali bin Abi Tholib, tiba-tiba Nauf bin Abdillah datang kepada kami lalu berkata "Wahai Amirul Mu’minin ! di pintu ada empat puluh lelaki Yahudi" Kemudian Sayyidina Ali radhiyallahu`anhu menjawab "Serahkan mereka kepadaku", setelah mereka sampai di depan Sayyidina Ali radhiyallahu`anhu mereka berkata : "Wahai Ali! Sifatkan kepada kami tentang tuhanmu yang berada di langit, bagaimana Dia ?, bagaimana ada-Nya ? bila Dia wujud ? dan Dia berada di atas apa ?"[4]. Kemudian Sayyidina Ali pun duduk dan berkata : "Wahai orang Yahudi dengarlah dariku dan jangan hiraukan untuk tidak bertanya kepada selainku[5], sesungguhnya Tuhanku adalah yang awal, ada tanpa permulaan, tidak ada dalam sesuatu, tidak seperti yang dibayangkan oleh prasangka, bukan jisim, tidak diliputi oleh tempat dan tidak ada setelah yang tidak ada." Kemudian beliau berkata[6]:





"مَنْ زَعَمَ أَنَّ إِلَهَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ".





Maksudnya:



“Barangsiapa beranggapan (berkeyakinan) bahawa Tuhan kita terhad (boleh ditentukan saiz bagi Zat-Nya) maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)”.





Menurut ulama` Tauhid dan ahli bahasa bahawa yang dimaksudkan dengan perkara yang terhad adalah sesuatu yang mempunyai bentuk, seperti `Arasy dan zarrah, kedua-duanya adalah terhad. Oleh itu yang dimaksudkan dengan kenyataan Saiyyidina Ali radhiyallahu`anhu bahawa Allah tidak mempunyai bentuk adalah Allah wujud tanpa bertempat. Manakala duduk adalah sifat yang mempunyai had, sedangkan Allah ta`ala bukanlah jisim yang besar dan yang kecil dan Allah juga tidak disifati dengan sifat-sifat jisim seperti bentuk, ukuran, warna, panas, dingin, duduk atau bersemayam, bergerak, diam dan berubah. Maksud perkataan Saiyidina `Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahawa Allah adalah jisim atau berkeyakinan Allah mempunyai bentuk, yang demikian itu adalah merupakan kekufuran.





Al-Misbah al-Munir wa Sabah al-Tafrid al-Sahabi al-Jalil wal-Khalifa al-Rashid Sayyiduna `Ali ibn Abi Talib radiyallahu`anhu (W. 40 H) berkata[7]:





"إِنَّ الَّذِي أَيَّنَ الأَيْنَ لايُقَالُ لَهُ أَيْنَ وَإِنَّ الَّذِي كَيَّفَ الْكَيْفَ لايُقَالُ لَهُ كَيْفَ".





Maksudnya:



“Sesungguhnya yang menciptakan (aina) tempat tidak boleh ditakatakan bagi-Nya dimana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan (kaifa) bagaimana, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana”.





Al -Imam Abu Bakar al-Siddiq radiyallahu`anhu berkata[8]:





"الْعَجْزُ عَنْ دَرَكِ الإِدْرَاكِ إِدْرَاكٌ وَالْبَحْثُ عَنْ ذَاتِهِ كُفْرٌ وَإِشْرَاكُ".





Maksudnya:



"Pengakuan bahawa pemahaman seseorang tidak mampu (lemah) untuk sampai megetahui hakikat Allah adalah keimanan, adapun mencari tahu tentang Allah, yakni membayangkan-Nya adalah kekufuran".





Maksudnya ialah kita beriman bahawa Allah ta`ala tidak seperti makhluk-Nya, tanpa memikirkan tentang hakikat Dzat-Nya. Adapun berfikir tentang makhluk-Nya adalah perkara yang dianjurkan kerana segala sesuatu yang wujud di dalam alam ini adalah merupakan tanda wujudnya Allah.





AQIDAH KETURUNAN RASULULLAH





Al-Imam Ahmad al-Rifa`i berkata[9]:





"غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإِيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلا كَيْفٍ وَلامَكَانٍ".





Maksudnya:



“Setinggi-tinggi ma`rifatullah (kemuncak dalam mengenal Allah ta`ala) adalah dengan menyakini bahawa Allah ta`ala wujud tanpa bentuk dan tanpa tempat”.





Al-Imam al-Sajjad Zainal `Abidin `Ali ibn al Husain ibn `Ali ibn Abi Thalib (38 H- 94 H) berkata[10]:





"أَنْتَ اللهُ الَّذِيْ لا يَحْوِيْكَ مَكَانٌ" وَقَالَ: أَنْتَ اللهُ الَّذِيْ لا تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا وَقَالَ: سُبْحَانَكَ لاتُحَسُّ وَلا تُجَسُّ وَلاتُمَسُّ ".





Maksudnya:



"Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat", dan dia berkata lagi:"Engkaulah Allah yang Maha Suci dari had (benda bentuk dan ukuran)", beliau berkata lagi :"Maha Suci Engkau yang tidak boleh diraba mahupun disentuh",(Allah tidak menyentuh sesuatupun daripada makhlukNya dan Ia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhlukNya kerana Allah bukan jisim. Allah Maha Suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan berlaku jarak antara Allah dan makhlukNya kerana Allah bukan jisim dan ada tanpa arah)."





Al-Imam Ja`far al-Sadiq radiyallahu`anhu (W. 148 H) berkata[11]:





"مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللهَ فِي شَيْءٍ أَوْ مِنْ شَيْءٍ أَوْ عَلَى شَيْءٍ فَقَدْ أَشْرَكَ إِذَ لَوْ كَانَ عَلَى شَيْءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَيْءٍ لَكَان مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَيْءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا – أَيْ مَخْلُوْقًا".





Maksudnya:



"Barangsiapa menyangka bahawa Allah itu berada di dalam sesuatu atau daripada sesuatu atau di atas sesuatu maka sesungguhnya dia telah syirik. Ini kerana jika Dia ada di atas sesuatu nescaya Dia menjadi suatu yang ditanggung, jika Dia di dalam sesuatu nescaya Dia menjadi suatu yang terbatas, dan jika kewujudan-Nya daripada sesuatu nescaya Dia menjadi suatu yang baharu – iaitu makhluk (yang diciptakan)".





MAZHAB HANAFI





Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah al-Nu`man Ibn Thabit radiyallahu`anhu (W. 150 H) berkata di dalam kitabnya al-Fiqh al-Absat[12]:





"كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلا مَكَانَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ وَكَانَ اللهُ تَعَالَىْ وَلَمْ يَكُنْ أَيْنٌ وَلا خَلْقٌ وَلا شَيْءٌ وَهُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ".





Maksudnya:



"Allah ta`ala itu wujud (pada azali tanpa permulaan) tanpa bertempat sebelum Dia menciptakan makhluk. Dan Allah ta`ala itu wujud (pada azali) tanpa di mana tanpa makhluk dan tanpa sesuatupun dan Dia pencipta segala sesuatu".





Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah al-Nu`man ibn Thabit radiyallahu`anhu (W. 150 H) telah berkata di dalam kitabnya Al-Wasiyyah[13]:





"وَلِقَاءُ اللهِ تَعَالَى لأَهْلِ الْجَنَّةِ بِلا كَيْفَ وَلاتَشْبِيْهَ وَلاجِهَةَ حَقٌّ."





Maksudnya:



"Pertemuan dengan Allah Ta`ala bagi ahli syurga tanpa kaifiyat, tanpa tasybih dan tanpa sudut adalah benar".





Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah al-Nu`man ibn Thabit radhiyallahu`anhu (W. 150 H) berkata dalam kitabnya al-Wasiyyah:





"فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى الْجُلُوْسِ وَالْقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ الْعَرْشِ أَيْنَ كَانَ اللهُ؟ تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا".





Maksudnya:



"Seandainya Allah berhajat kepada duduk dan bertempat, lalu di manakah Allah sebelum diciptakan `Arasy? Maha Suci Allah daripada duduk dan bertempat dengan kesucian yang agung."





MAZHAB MALIKI





Al-Imam al-Mujtahid Malik pernah ditanya tentang makna “Istawa” sepertimana yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi di dalam kitabnya al-Asma’ Wa al--Sifat[14]:





"يَا أَبَا عَبْد ِاللهِ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَيْفَ اسْتِوَاؤُهُ؟ قَالَ: فَاطُرَقَ مَالِكٌ وَ أَخَذَتْهُ الرَّحْضَاءَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىْ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ, وَلا يُقَالُ كَيْفَ وَ كَيْفَ عَنْهَ مَرْفُوْعٌ وَ أَنْتَ رَجُلٌ سُوْءٌ صَاحِبُ بِدْعَةٍ أَخَرَجُوْهُ. قَالَ فَأَخْرُجَ الرَّجُلَ".





Maksudnya:



"Wahai Abu Abdillah: “Ar-Rahman di atas `Arasy istawa”, bagaiman Dia istawa? Maka al-Imam Malik menundukkan kepalanya dan peluh membasahinya, kemudia beliau mengangkat mukanya lalu berkata: “Ar-Rahman di atas `Arasy istawa sepertimana Dia sifatkan diri-Nya dan bagaimana istawa-Nya (kaif) diangkat daripada-Nya (tiada bagi-Nya kaif). Sesungguhnya engkau ahli bid`ah, usirlah dia. Maka lelaki itupun diusir pergi" .





Kata-kata al-Imam Malik ini perlu difahami dengan betul. Ada pihak yang tersilap faham maksud daripada kata-kata al-Imam Malik ini lalu mendakwa bahawa al-Imam Malik mengatakan Allah duduk atau bersemayam di atas `Arasy. Marilah kita melihat tafsiran para ulama’ mengenai kata-kata al-Imam Malik ini.





Maksud kata-kata al-Imam Malik tersebut bahawa Allah Maha Suci dari semua sifat jisim, seperti duduk atau bersemayam di atas `Arasy, berada suatu tempat, berada di mana-mana tempat, berjihah, berbentuk, berjuzuk dan sebagainya kerana itu semua adalah sifat makhluk.





Kata-kata al-Imam Malik ini perlu difahami dengan betul dan berhati-hati kerana ada sebahagian golongan yang tersilap dalam memahami maksud daripada kata-kata Imam Malik ini lalu mendakwa bahawa al-Imam Malik, mengatakan Allah ta`ala itu duduk atau bersemayam di atas `Arasy. Na`uzubillah…





Golongan Wahhabi iaitu pengikut Ibn Taimiyah al-Mujassimah mengubah perkataan al-Imam Malik dan berhujah dengan golongan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dengan menggunakan kata-kata al-Imam Malik untuk mengatakan Allah duduk di atas `Arasy. Sedangkan dalam kata-kata al-Imam Malik tidak ada pun mengatakan Allah jalasa (duduk) dan riwayat yang mengatakan “Wa al-Kaif Majhul” adalah tidak benar dan al-Imam Malik tidak pernah mengatakannya. Berhati-hatilah dengan golongan Wahhabi kerana mereka mengubah kata-kata ulama` untuk menyebarkan fahaman kufur mereka. Wal`iyyal zubillah….





Kata-kata al-Imam Malik : “al-Rahman beristawa di atas `Arasy sepertimana Dia sifatkan Dzat-Nya” : Disini al-Imam Malik tidak menentukan (ta`yin) makana yang tertentu bagi kalimah istawa sebaliknya menyerahkan makna yang tertentu bagi kalimah istawa sebaliknya menyerahkan makna tersebut kepada Allah ta`ala dengan beri`tiqad bahawa Allah tidak menyerupai sesuatupun daripada makhluk-Nya. Dalam erti kata lain, apa yang dilakukan oleh al-Imam Malik ini dinamakan tafwidh (menyerahkan).





Dan maksud kata-kata al-Imam Malik “tidak ditanya bagaimana (kaif) istawa-Nya dan bagaiamana (kaif) diangkat daripada-Nya” : Bahawa istawa Allah ta`ala itu tanpa mempunyai keadaan atau bentuk tertentu kerana yang mempunyai rupa dan bentuk tertentu adalah makhluk. Ini juga membuktikan bahawa al-Imam Malik tidak maksudkan dengan kata-katanya “al-Rahman beristawa di atas `Arasy” itu bahawa Allah ta`ala itu duduk di atas `Arasy kerana duduk itu mempunyai rupa dan bentuk tertentu.





Al-Imam Malik tidak mengambil zahir sepertimana yang dilakukan oleh golongan yang mendakwa mereka sebagai Salafiyyah yang tokoh utamanya ialah Ibn Taimiyah al-Mujassimah. Di sisi Ibn Taimiyah dan para pengikutnya mengambil makna istawa ialah dduduk kerana mereka mengambil makna ayat tersebut secara zahir.





Kemudian mereka juga mengatakan bahawa istawa Allah itu mempunyai bentuk dan keadaan tertentu tetapi bagaimana tidak diketahui. Sedangkan golongan salaf sebenar mengatakan bahawa Allah ta`ala itu tidak boleh di bagaiman atau dibentukkan dengan bentuk-bentuk tertentu. Inilah membezakan Ibnu Taimiyah al-Mujassimah dengan golongan salaf yang sebenar.





Dan dapat dilihat bahawa al-Imam Malik mengingkari pertanyaan lelaki tersebut tentang bagaimana (kaif) istawa Allah itu kerana pertanyaannya menampakkan seolahnya Allah itu istawa dengan bentuk tertentu. Seolahnya lelaki itu berkata “bagaimana bentuk” istawa Allah itu?. Dan suatu yang dapat “dibagaimanakan” maka bermakna ia suatu yang dapat digambarkan oleh akal fikiran dan suatu yang dapat digambarkan oleh akal fikiran dan suatu yang dapat digambarkan oleh akal fikiran maka ia boleh dikadarkan dalam bentuk tertentu dan suatu yang dapat dikadarkan dalam bentuk tertentu maka menunjukkan ianya adalah makhluk.





Pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahawa Allah itu duduk tetapi kita tidak tahu bagaimana duduk-Nya membuktikan bahawa Ibnu Taimiyah tidak menafikan bahawa Allah itu mempunyai bentuk tertentu tetapi kita tidak mengetahuinya. Sedangkan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang sebenar menafikan bahawa Allah mempunyai bentuk tertentu kerana suatu yang mempunyai bentuk sudah pasti ianya makhluk.





Terdapat satu riwayat tentang kenyataan al-Imam Malik yang berbunyi:





"وَ الْكَيْفُ غَيْرُ الْمَعْقُوْلِ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ".





Maksudnya:



"(Istawa’ itu disebut di dalam al-Quran) Dan kaifiyyatnya tidak ada sama sekali (tidak masuk akal), beriman dengannya adalah wajib dan bertanyakannya adalah bid`ah".





Al-Imam al-Qarafi mensyarahkan maksud perkataan al-Imam Malik yang menyebut : "al-Kaif tidak masuk akal" berkata[15]:





"وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ" مَعْنَاهُ أَنَّ ذَاتَ اللهِ لاتُوْصَفُ بِمَا وَضَعَتْ لَهُ الْعَرَبُ لَفْظَ كَيْفَ, وَهُوَ الأَحْوَالُ الْمُتَنَقِّلَةُ وَالْهَيْئَاتُ الْجِسْمِيَّةُ...فَلا يُعْقَلُ ذَلِكَ فِيْ حَقِّهِ لاِسْتِحَالَتِهِ فِيْ جِهَةِ الرُّبُوْبِيَّةِ".





Maksudnya:



"Al-Kaif tidak masuk akal" maknanya, zat Allah tidak disifati dengan apa yang diletakkan oleh kaedah bahasa Arab dengan lafaz Kaif iaitu (maksud sifat kaif) suatu keadaan-keadaan yang berpindah-pindah (terpisah-pisah) dan suatu keadaan (sifat) kejisiman...Maka tidak masuk akal (mustahil) ianya (Kaif) dinisbahkan kepada Allah kerana ianya (kejisiman dan sifat makhluk) mustahil bagi sifat ketuhanan (Allah ta`ala)" .





Adapun perkataan yang dinisbahkan kepada al-Imam Malik yang berkata: "Kaif Majhul", maka menurut sebahagian besar ulama`, ianya tidak jelas menunjukkan al-Imam Malik menetapkan kaifiyyat bagi Allah ta`ala di samping riwayat tersebut lemah dan tidak sahih jika dikaji dari sudut sanadnya berbanding riwayat yang menyebut: "Kaif ghair ma`qul" iaitu tanpa kaif.





Maka disisi bahasanya, menetapkan kaifiyyat bagi Allah bererti menetapkan ukuran dan kadar batas bagi Allah ta`ala ini bukan pegangan salafus-soleh. Tiada dalam kalangan salaf yang pernah mendakwa Allah ta`ala mempunyai kadar dan kaifiyyat tetapi kita tidak mengetahuinya. Malah, mereka menafikan asal bagi kaifiyyat itu sendiri daripada dinisbahkan kepada Allah ta`ala berdasaarkan perkataan al-Imam al-Qarafi radiyallahu`anhu.







Al-Zahabi turut meriwayatkan dengan berkata[16]:





"وَالْمَحْفُوْظُ عَنْ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللهُ رِوَايَةُ الْوَلِيْدِ بْنِ مُسْلِمٍ أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ أَحَادِيْثَ الصِّفَاتِ، فَقَالَ: أَمَرَهَا كَمَا جَائَتْ بِلا تَفْسِيْرٍ".





Maksudnya:



"Diriwayatkan secara terpelihara (sanadnya) daripada Malik rahimahullah dengan riwayat al-Walid bin Muslim bahawasanya beliau bertanya kepadanya (Malik) tentang hadith-hadith sifat maka beliau berkata: "Laluinya sebagaimana ia tanpa tafsir" .





Al-Imam al-Qadhi `Iyadh meriwayatkan pendirian al-Imam Malik radhiyallahu`anhu dengan berkata[17]:







"رَحِمَ اللهُ الإِمَامَ مَالِكًا فَلَقَدْ كَرَهَ التَّحْدِيْثَ بِمِثْلِ هَذِهِ الأَحَادِيْثِ الْمُوْهَمَةِ لِلتَّشْبِيْهِ وَالْمُشْكِلَةِ الْمَعْنَىْ".





Maksudnya:



"Semoga Allah merahmati Imam Malik radiyallahu`anhu. Beliau sangat membenci berbicara tentang hadith-hadith yang membawa kesamaran tasybih dan kekeliruan maknanya."





Jelaslah menurut al-Imam al-Qadhi `Iyad bahawasanya, ada hadith-hadith yang membawa waham tasybih dan maknanya sukar difahami. Apa sebabnya? Ini kerana, berdasarkan makna lafaz-lafaz tersebut dari sudut bahasa, ianya membawa makna kejisiman yang tidak layak bagi Allah ta`ala. Kalau lafaz-lafaz tersebut perlu difahami dengan makna zahir, maka tidak timbul kekeliruan dan tidak timbul juga prasangka bahawasanya ianya tasybih. Timbul prasangka begitu kerana makna zahir bagi nas-nas mutasyabihat tersebut tidak layak bagi Allah ta`ala.





Al-Imam al-Alusi (W 1270 H) di dalam kitab tafsirnya yang berjudul Ruh al-Maani dengan menyatakan[18]:





"لَيْسَ نَصًّا فِيْ هَذَا الْمَذْهَبِ لاِحْتِمَالِ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ: غَيْرُ مَجْهُوْلٍ أَنَّهُ ثَابِتٌ مَعْلُوْمُ الثُّبُوْتِ لا لأَنَّ مَعْنَاهُ هُوَ الاِسْتِقْرَارُ غَيْرَ مَجْهُوْلٍ. وَ مِنْ قَوْلِهِ: وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ إِنَّ كُلَّ مَا هُوَ مِنْ صِفَةِ اللهِ تَعَالَى لا يَدْرِكُ الْعَقْلُ لَهُ كَيْفِيَّةً لِتَعَالِيْهِ عَنْ ذَلِكَ".





Maksudnya:



"Ianya bukan merupakan satu nas bagi mazhab[19], ini kerana kemungkinan yang dimaksudkan dengan kata-katanya’dimaklumi’ itu ialah bahawa makna istawa itu sahih dan diketahui sahih kewujudannya dalam bahasa Arab, bukanlah maksud beliau bahawa sifat ‘menetap’ (istiqrar) itu yang diketahui. Dan kata-kata beliau bahawa kaif itu tidak dapat di bayangkan oleh akal ialah setiap sifat Allah ta`ala itu tidak dapat dicapai oleh akal kerana Maha Suci Allah daripada mempunyai kaif" .





Al-Syeikh Muhammad Zahid al-Kauthari (W 1371 H) mengatakan[20]:





"إِنَّ الاِسْتِوَاءَ مَعْلُوْمٌ يَعْنِيْ مُوْرَدُهُ فِي اللُّغَةِ, وَالْكَيْفِيَّةَ الَّتِيْ أَرَادَهَا اللهُ, مِمَّا يَجُوْزُ عَلَيْهِ مِنْ مَعَانِي الاِسْتِوَاءِ مَجْهُوْلَةٌ فَمَنْ يُقَدِّرُ أَنْ يُعِيْنُهَا؟ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ لأَنَّ الاِشْتِغَالَ بِهِ قَدْ يُثِيْرُ طَلَبَ الْمُتَشَابِهِ بِهِ إِبْتَغَاءَ الْفِتْنَةِ. فَتَحْصُلُ لَكَ مِنْ كَلامِ اِمَامِ الْمُسْلِمِيْنَ مَالِكَ أَنَّ الاِسْتِوَاءَ وَ أَنَّ مَا يَجُوْزُ عَلَى اللهِ غَيْرُ مُتَعَيِّنٍ وَ مَا يَسْتَحِيْلُ عَلَيْهِ هُوَ مُنَزَّهٌ عَنْهُ...وَقَدْ حَصَلَ لَكَ التَّوْحِيْدَ وَ الإِيْمَانَ بِنَفْيِ التَّشْبِيْهِ وَ الْمُحَالُ عَلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى فَلا يْلْزَمُكَ سِوَاهُ".





Maksudnya:



"Sesungguhnya maksud istiwa’ itu diketahui ialah diketahui kewujudannya dalam bahasa Arab. dan kaifiyyat yang dikehendaki oleh Allah daripada makna-makna yang harus ke atas Allah ta`ala tidak diketahui, maka siapa yang mampu menentukannya? Dan soalan mengenainya adalah bid`ah kerana bekerja keras mencari maknanya akan membawa kepada mencari makna mutasyabih yang boleh membawa kepada fitnah. Maka daripada kata-kata al-Imam Malik ini Imam kaum muslimin ialah istiwa’ itu diketahui dan apa yang harus ke atas Allah tidak ditentukan dan apa yang mustahil ke atas Allah, Maha Suci Allah daripada perkara tersebut…dengan ini kamu telah memperolehi iman dengan menafikan tasybih dan menafikan apa yang mustahil ke atas Allah dan kamu tidak dituntut selain daripada itu" .





Dengan penjelasan ini, maka adalah tidak benar sama sekali dakwaan golongan wahhabi yang mendakwa bahawa Allah duduk di atas `Arasy dengan berhujahkan kaya-kata al-Imam Malik tersebut.





Dapat diperhatikan bahawa al-Imam Malik tidak menentukan (ta’yin) sebarang makna yang tertentu ke atas makna istiwa’ tersebut. Sebaliknya al-Imam Malik hanya mengatakan makna istiwa’ itu diketahui. Bukanlah maksud beliau makna istiwa’ itu diketahui ertinya Allah itu duduk di atas `Arasy, sebaliknya kalimah istiwa’ itu terdapat maknanya di dalam bahasa Arab dan maknanya difahami oleh orang-orang Arab.





Jadi adalah satu yang menghairankan apabila golongan Wahhabi mendakwa bahawa Allah duduk di atas `Arasy hanya berdasarkan kata-kata al-Imam Malik yang tidak ada sama sekali menyebut bahawa al-Imam Malik mengatakan Allah itu duduk, sebaliknya beliau hanya mengatakan bahawa istiwa’ itu diketahui, itu sahaja!.





Al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani al-Maliki (W. 403 H) berkata di dalam kitabnya al-Insaf ketika membicarakan tentang perkara yang wajib diiktikadkan dan tidak boleh jahil tentangnya[21]:





"وَلا نَقُوْلُ إِنَّ الْعَرْشَ لَهُ – أَي لله – قَرَارٌ وَلا مَكَانٌ، لأَنَّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلا مَكَان فَلَمَّا خَلَقَ الْمَكَاَنَ لَمْ يَتَغَيَّرْ عَمَّا كَانَ".





Maksudnya:



"Dan kami tidak berkata bahawa Arasy itu sebagai suatu kediaman dan bukan suatu tempat bagi-Nya, kerana Allah taala telah wujud (sejak azali) tanpa bertempat. Tatkala Dia mencipta tempat maka Dia tidak berubah dari apa yang telah Dia ada (kewujudan-Nya tetap tidak bertempat)".







MAZHAB SYAFI`E





Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris al-Syafi`e radiyallhu`anhu (W. 203 H) telah berkata[22]:





"إِنَّهُ تَعَالَى كَانَ وَلا مَكَان فَخَلَق َالْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الأَزَلِيَّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لا يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغْيِيْرُ فِي ذَاتِهِ وَلا التَّبْدِيْل ُفِي صِفَاتِهِ".





Maksudnya:



"Sesungguhnya Dia ta`ala wujud (sejak azali) tanpa bertempat, maka Dia mencipta tempat sedangkan Dia tetap di atas sifat keazalian-Nya sebagaimana Dia wujud (sejak azali) sebelum Dia mencipta tempat. Perubahan tidak harus (pada akal) berlaku perubahan ke atas-Nya pada zat-Nya dan tidak juga berlaku penukaran pada sifat-Nya".





Al-Imam al-Mujtahid Muhammad Ibn Idris al-Syafi`e radiyallhu`anhu (W. 203 H) berkata[23]:





"مَنْ انْتَهَضَ لِمَعْرِفَةِ مُدَبِّرِهِ فَانْتَهَى إِلَى مَوْجُوْدٍ يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ فِكْرُهُ فَهُوَ مُشَبِّهٌ وَإِنْ اطْمَأَنَّ إِلَى الْعَدَمِ الصَّرْفِ فَهُوَمُعَطِّلٌ وَإِن اطْمَأَنَّ إِلَى مَوْجُوْدٍ وَاعْتَرَفَ بِالْعَجْزِ عَنْ إِدْرَاكِهِ فَهُوَ مُوَحِّدٌ".





Maksudnya:



"Barangsiapa yang berusaha untuk mengetahui pentadbirnya (Allah) hingga menyakini bahawa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah Musyabbihah (orang yang meneyrupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir. Dan jika ia berhenti pada keyakinan bahawa Tuhan (Tuhan yang mentadbirnya) maka dia adalah mu`aththil (orang yang meniadakan Tuhan/ atheis). Dan jika ia berhenti pada keyakinan bahawa pasti ada pencipta yang menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahawa dia tidak akan dapat membayangkan-Nya maka dia adalah muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah)".





Telah berkata al-Syeikh Muhammad al-Fudhali di dalam kitabnya Kifayah al-`Awwam:





"وَالرَّابِعَةُ الْمُمَاثَلَةُ ضِدُّ الْمُخَالَفَةِ فَسْتَحِيْلُ عَلَيْهِ تَعَالَى أَنْ يُمَاثِلَ الْحَوَادِثَ فِيْ شَيْءٍ مِمَّا التَّصَفُوْا بِهِ فَلا يَمُرُّ عَلَيْهِ تَعَالَى زَمَانٌ وَلَيْسَ لَهُ مَكَانٌ وَلَيْسَ لَهُ حَرَكَةٌ وَلا سُكُوْنٌ وَلا يَتَّصِفُ بِالأَلْوَانِ وَلا بِجِهَةٍ".





Maksudnya:



"Dan keempat adalah mumathalah (menyamai) lawan daripada mukhalafah (tida menyamai) maka mustahil atas Allah ta`ala menyamai segala yang baharu pada sesuatu daripada apa-apa yang mereka bersifat dengannya, maka masa/zaman tidaklah berlalu atas Allah ta`ala dan tidak ada bagi-Nya tempat, tidak ada bagi-Nya pergerakan, tidak ada bagi-Nya diam dan Dia tidak bersifat dengan berwarna serta tidak pula (bersifat) dengan arah (pihak yang enam)".







MAZHAB HANBALI





Al-Imam al-Mujtahid al-Jalil Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal radiyallahu`anhu (W. 231 H) berkata [24]:





"وَأَنْكَرَ عَلَى مَنْ يَقُوْلُ بِالْجِسْمِ وَقَالَ إِنَّ الأَسْمَاءَ مَأْخُوْذَةٌ بِالشَّرِيْعَةِ وَاللُّغَةِ. وَأَهْلُ اللُّغَةُ وَضَعُوْا هَذَا الاِسْمَ عَلَى كُلِّ ذِيْ طَوْلٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيْبٍ وَصُوْرَةٍ وَتَأْلِيْفٍ وَاللهُ تَعَالَى خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَمَّى جِسْمًا لِخُرُوْجِهِ عَنْ مَعْنَى الْجِسْمِيَّةِ وَلَمْ يَجِئْ فِي الشَّرِيْعَةِ ذَلِكَ فَبَطَلَ".





Maksudnya:



"Beliau (Imam Ahmad bin Hanbal) mengingkari mereka yang menyifatkan Tuhan dengan kejisiman. Beliau (Imam Ahmad) berkata: Sesungguhnya, nama-nama itu diambil daripada syariat dan bahasa. Adapun ahli bahasa (Arab) meletakkan nama tersebut -jisim- dengan maksud, sesuatu yang ada ukuran ketinggian, ukuran lebar, tersusun dengan beberapa anggota, mempunyai bentuk dan sebagainya, sedangkan Allah di luar daripada yang demikian (tidak mempunyai cantuman, anggota dan sebagainya) Maka, tidak boleh dinamai Allah sebagai Jisim kerana Allah di luar (terkeluar dari) makna kejisiman (tidak beranggota, tiada ukuran, tiada bentuk dan sebagainya) dan syariat tidak pernah menyebut tentang perkara tersebut (penyamaan Dzat Allah dengan jisim) maka batallah (fahaman Tajsim atau Allah berjisim)".





Al-Imam al-Mujtahid al-Jalil Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal radiyallahu`anhu (W. 231 H) berkata[25]:





"وَأَمَّا الإِمَامُ الْجَلِيْلُ أَبُوْ عَبْدُ اللهِ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ الشَيْبَانِي فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ ابن حَجَرِ الْهَيْثَمِيْ أَنَّهُ كَانَ مِن الْمُنَزٍّ هِيْنَ اللهَ تَعَالَى عَنِ الْجِهَةِ وَالْجِسْمِيَّةِ, ثُمَّ قَالَ ابْنُ حَجَرٍ مَا نَصَّهُ: وَمَا اشْتَهَرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إِلَى هَذَا الإِمَامِ الأَعْظَمِ مِنْ أَنَّهُ قَائِلٌ بِشَيْءٍ مِنَ الْجِهَةِ أَوْ نَحْوِهَا فَكِذْبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ".





Maksudnya:



"Dan adapun al-Imam Ahmad al-Jalil Abu `Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Syaibani bahawasanya beliau (Imam Ahmad) dalam kalangan mereka yang mensucikan Allah ta`ala daripada sebarang tempat dan kejisiman. Kemudian, Ibnu Hajar berkata: Adapun yang masyhur dalam kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan kepada Imam yang agung ini, bahawa beliau bercakap tentang (Allah ta`ala) bertempat dan sebagainya, maka ia merupakan sesuatu yang dusta, tipu daya dan rekaan ke atas beliau".





Al-Imam al-Mujtahid al-Jalil Abu Abdullah Ahmad Ibn Hanbal radiyallahu`anhu (W. 231 H) berkata[26]:





"كَانَ يَقُوْلُ- أَيْ الإِمَامُ أَحْمَدُ- فِيْ مَعْنَى الاِسْتِوَاءِ هُوَ العَلُوُّ وَالاِرْتِفَاعُ وَلَمْ يَزَلِ اللهُ عَالِيًا رَفِيْعًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ عَرْشَهُ فَهُوَ فَوْقَ كُلِّ شَيْءٍ وَالْعَالِيْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ...عَلا وَلا يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ اسْتَوَى بِمُمَاسَةٍ وَلا بِمُلاقَاةٍ تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا وَاللهُ تَعَالَى لَمْ يَلْحِقْهُ تَغْيِيْرٌ وَلا تَبْدِيْلٌ وَلا تَلْحَقُهُ الْحُدُوْدُ قَبْلَ خَلْقِ الْعَرْشِ وَلا بَعْدَ خَلْقِ الْعَرْشِ".





Maksudnya:



"Telah berkata –iaitu al-Imam Ahmad- pada menjelaskan tentang makna istawa iaitu ketinggian darjat dan keagungan-Nya. Allah ta`ala sentiasa Maha Tinggi dan Maha Tinggi (darjat-Nya) sebelum Dia menciptakan `Arasy. Dia di atas setiap sesuatu dan Maha Tinggi (kedudukan-Nya) daripada setiap sesuatu… Tidak boleh seseorang berkata bahawasanya, istawa itu zat Allah ta`ala menyentuh `Arasy atau menempatinya. Maha Suci Allah ta`ala daripadanya (bertempat) setinggi-tinggi-Nya. Dia tidak akan berubah-ubah, tidak dibatasi dengan sebarang batasan sebelum penciptaan `Arasy dan setelah kejadian (terciptanya) `Arasy tersebut".





فَقَدْ نَقَلَ أَبُو الفَضْلِ التَمِيْمِيْ رَئِيْسُ الْحَنَابِلَةِ\

Maka sesungguhnya Abu Fadhl al-Tamimi, penghulu ulama` Hanabilah



Berdasarkan perkataan Imam Abu al-Fadhl al-Tamimi (ini, al-Imam Ahmad radiyallahu`anhu menafikan bagi Allah ta`ala sebarang makna-makna yang membawa kepada kelaziman-kelaziman jisim seperti berganggota, berukuran, mempunyai bentuk dan sebagainya.





Imam Ahmad bukan sekadar menolak fahaman Tajsim, tetapi diriwayatkan juga bahawasanya beliau mengkafirkan mereka yang berfahaman tajsim.





`Abd al-Wafa` `Ali Ibn `Aqil al-Baghdadi seorang Shayk al-Hanabilah pada zamannya (W. 513 H) seperti yang dinaqalkan daripadanya menerusi kitab al-Bazl al-Ashab[27]:





."تَعَالَى اللهُ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ صِفَةٌ تَشْغَلُ الأَمْكِنَةَ، هَذَا عَيْنُ التَّجْسِيْمِ"





Maksudnya:



"Allah Maha Suci dari mempunyai sifat mendiami tempat. Ini adalah diri pentajsiman".







Al-Hafiz `Abd al-Rahman ibn `Ali yang dikenali dengan nama Ibn al-Jawzi al-Hanbali (W. 597 H) berkata di dalam kitabnya Daf`u al-Syubahat al-Tasybih[28]:





"الْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَعْتَقِدَ أَنَّ ذَاتَ اللهِ تَعَالَى لا يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلا يُوْصَفُ بِالتَّغْيِيْرِ وَالاِنْتِقَال".





Maksudnya:



"Wajib ke atas kita agar beriktikad bahawa zat Allah taala tidak diliputi oleh suatu tempat dan tidak disifatkan dengan sebarang perubahan dan perpindahan".







AL IMAM ABU HASSAN AL-ASY`ARI





Berkata al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari radiyallahu`anhu (W. 324 H)[29] tentang Dzat Allah ta`ala:





"وَقَدْ عَلِمْنَا أَنَّهُ لَمْ يَنْقُلْ نَفْسَهُ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ".





Maksudnya:



"Dan sesungguhnya kita telah mengetahui bahawasanya Allah tidak memindahkan diri-Nya daripada satu keadaan kepada satu keadaan yang lain (Allah tidak mengambil tempat)".





Berkata al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari radiyallahu`anhu (W. 324 H)[30] berkenaan Allah ta`ala:





"كَانَ اللهُ وَلا مَكَان فَخَلَقَ الْعَرْشَ وَالْكُرْسِيَّ وَلَمْ يَحْتَجْ إِلَى مَكَانٍ. وَهُوَ بَعْدَ خَلْقِ الْمَكَانَ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ".





Maksudnya:



"Allah telah wujud (sejak azali) sedangkan suatu tempat pun tidak ada (pada ketika itu), kemudian Allah mencipta Arasy dan Kursi dan Dia tidak memerlukan kepada tempat. Dia wujud setelah menciptakan tempat sebagaimana Dia telah wujud sebelum menciptakan tempat (iaitu tidak bertempat)".





Berkata Al Imam Abu Hassan Al Asy`ari radiyallahu`anhu (W 324 H)[31]





"إِنَ اللهُ لا مَكَانَ لَهُ".





Maksudnya:



"Sesungguhnya Allah wujud tanpa bertempat".





Berkata Al-Imam Abu Hassan Al-Asy`ari radiyallahu`anhu (W. 324 H) berkenaan “Istawa”[32]:





"وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى اسْتِوَى عَلَى الْعَرْشِ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ قَالَهُ, وَبِالْمَعْنَى أَرَادَهُ, الاِسْتِوَاءُ مُنَزَّهًا عَنِ الْمُمَاسَةِ, وَالاِسْتِقْرَارِ, وَالتمك, وَالْحُلُوْلِ, وَالاِنْتِقَالِ, لايَحْمِلُهُ الْعَرْشَ بَلِ الْعَرْشَ وَحَمَلَتْهُ مَحْمُوْلُوْنَ بِلُطْفِ قُدْرَتِهِ, وَمَقَهُوْرُوْنَ فِي قَبْضَتِهِ, وَهُوَ فَوْقَ الْعَرْشِ وَفَوْقَ كُلَّ شَيْءٍ إِلَى تَخُوْمُ الثُّرَى, فَوْقِيَّةٌ لاتَزِيْدُهُ قُرْبًا إِلَى الْعَرْشِ وَالسَّمَاءِ, بَلْ هُوَ رَفِيْعُ الدَّرَجَاتِ عَنِ الْعَرْشِ".





Maksudnya:



"Sesungguhnya Allah ta`ala “beristawa” di atas `Arasy mengikut apa yang difirman dan makna yang dimaksudkan-Nya. Istawa itu Maha suci daripada bersentuh, menetap, mengambil tempat, menjelma dan berpindah. Dia tidak menanggung `Arasy tetapi `Arasy dan penanggungnya (malaikat) itu ditanggung oleh kekuasaan-Nya, kesemuanya itu dikuasai di dalam genggaman-Nya" (kekuasaan-Nya). Sesungguhnya darjat-Nya lebih tinggi daripada `Arasy dan di atas setiap sesuatu kepada sempadan bintang surraya. Tinggi yang tidak lebih hampir kepada `Arasy dan langit, bahkan tinggi darjat-Nya daripada `Arasy" .





Oleh itu jelaslah bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tidak berkeyakinan bahawa Allah ta`ala berada di suatu arah dan beliau juga mengatakan bahawa "Tidak boleh berkata Allah ta`la di satu tempat atau di semua tempat". Perkataan Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari ini telah dinukilkan oleh al-Imam Ibnu Furak iaitu murid kepada al-Imam al-Bahili iaitu murid kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari (W. 406 H) di dalam kitabnya “Al-Mujarrad”



Persolan tentang kitab al-Ibanah yang disandarkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yang mengatakan Allah bertempat adalah satu kenyataan yang dusta dan tidak ada asasnya, kerana kitab al-Ibanah yang sebenar mengatakan Allah ta`ala wujud tanpa memerlukan tempat sebagaimana yang dinyatakan di atas. Ini adalah satu bukti yang menunjukkan bahawa kitab al-Ibanah yang dicetak dan disebar sekarang dinisbahkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah banyak dimasukkan sisipan-sisipan palsu, dusta dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut.





IMAM ABU MANSUR AL MATURIDI





Berkata al-Imam Abu al-Mansur al-Maturidi radiyallahu`anhu (W. 333 H)[33] di dalam kitabnya al-Tauhid:





"إِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ كَانَ وَلا مَكَانَ...فَهُوَ عَلَى مَا كَانَ, وَكَانَ عَلَى مَا عَلَيْهِ الآنَ, جَلَّ عَنِ التَّغَيُّرِ وَالزَّوَالِ وَالاِسْتِحَالَةِ".





Maksudnya:



"Sesungguhnya Allah Subhanahu wata`ala wujud tanpa bertempat…Dia kini sama seperti wujud-Nya sebelum ini (tanpa bertempat), dan sehingga kini wujud seperti sebelumnya (tiada bertempat). Maha suci Allah ta`ala daripada berubah-ubah, hilang mahupun daripada kemustahilan".











[1] Ibn al-Hajar al-`Asqalani(t.t), Fath al-Bari, Kaherah: Dar al-Rayyan, j. 6, hlm. 334.





[2] Al-Hafiz Ahmad Ibn al-Husayn al-Bayhaqi (t.t), al-Asma’ was-Sifat, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, h. 400.





[3] Abu Mansur Abd al-Qahir al-Baghdadi(t.t), al-Farq bayn al-Firaq, Beirut: Dar al-Ma`rifah, h. 333.





[4] Orang Yahudi adalah mujassimah dan berkeyakinan bahawa Allah ada di atas langit dan duduk di atas `Arasy, ini adalah keyakinan kufur.





[5] Dengarlah dariku.





[6] Diriwayatkan oleh Abu Nu`aim (W. 430 H), Hilyah al-Auliya`, j. 1, h. 72.





[7] Diriwayatkan oleh Abu Muzhoffar al-Asfaroyiini(1995), Al-Tabsir fi ad-Din, Cetakan Khanji Mesir, h. 144.





[8] Diriwayatkan oleh al-Imam Badr al-Din al-Zarkarsyi dan lain-lainnya.





[9] Al Imam Ahmad al-Rifa`i di dalam kitabnya Hal Ahl Al Haqiqah Ma`a Allah dan kitab Hikam al-Syeikh Ahmad al-Rifa`i al-Kabir, h. 35-36.





[10] Al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadha al-Zabidi al-Husaieny (t.t), Ittihaf al-Sadatil-Muttaqin fi Sayrh Ihya’ `Ulumiddin, Beirut: Dar al-Fikr, j. 4, h. 380.





[11] Al-Imam Abu al-Qasim `Abd al-Karim al-Qushayri(t.t), al-Risalah al-Qushayriyyah, (t.tp): Dar al-Kitab al-`Arabi, h. 6.





[12] Abu Hanifah al-Nu`man Ibn Thabit, al-Fiqh al-Absat – h. 25 dan dikumpulkan juga di dalam Majmu` Rasa’il Abi Hanifah dengan tahqiq oleh al-Kawthari - , (t.p.), h. 6.





[13] Abu Hanifah al-Nu`man Ibn Thabit(t.t), al-Wasiyyah, (t.tp): (t.p), h. 6.





[14] Al-Imam al-Bayhaqi, al-Asma’ was-Sifat; Bab ma ja’ fi al-`Arsy wa al-Kursi, Dar Al-Jail Beirut, hlm. 568 .





[15] Al-Imam al-Qarafi di dalam kitabnya Az-Zakhirah,13/242.





[16] Al-Zahabi, Syiar A`lam al-Nubala, j. 8. h. 105.





[17] Al-Imam al-Qadhi `Iyadh, al-Syifa’, j. 2. h. 542.





[18] Al-Imam al-Alusi, Ruh al-Maani, Dar Al-Fikr, j. 4, h. 136.





[19] Maksud beliau ialah mazhab orang yang mendakwa bahawa kata-kata al-Imam Malik tersebut bermaksud Allah itu bersemayam atau tempat-Nya di atas `Arasy.





[20] Al-Syeikh Muhammad Zahid al-Kauthari, Maqalat al-Kautahri (1998), Dar al-Salam, c. 1. h. 225.





[21] Al-Baqillani(t.t), al-Insaf fi Ma Yajib I`tiqaduhu, Beirut: `Alam al-Kutub, h. 65.





[22] Muhammad Murtada al-Zabidi(t.t), Ittihaf al-Sadat al-Muttaqin, Dar al-Fikr, Beirut, j. 2, h. 23.





[23] Diriwayatkan oleh al-Imam al-Baihaqi dan lain-lain.





[24] Manaqib al-Imam Ahmad oleh al-Imam al-Baihaqi dan rujuk I`tiqad al-Imam al-Mubajjal Ibn Hanbal, h. 294-295.





[25] Syaikh al-Islam Ahmad bin Muhammad bin `Ali bin Hajar al-Haithamiy al-Makki al-Misri(t.t), al-Fatawa al-Hadithiyyah, (t.t.p): Dar Ihya’ al-Turath al-`Arabiy, h. 144.





[26] Abu al-Fadhl al-Tamimi(t.t), Risalah al-Tamimi, (t.tp): (t.p), j. 2, h. 265/290.





[27] Ibn al-Jawzi(t.t), al-Bazl al-Ashab al-Munqid `ala Mukhalif al-Madhhab, Beirut: Dar al-Jinan, h. 86. - lihat hadis ke 11-





[28] Ibn al-Jawzi(t.t), Daf` Shubuhut al-Tashbih, Kaherah: al-Maktabah al-Tawfiqiyyah, h. 58.





[29] Abu al-Hassan al-Asy`ari(1975), al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-Zaigh wa al-Bida`, Kaherah; al-Hai`ah al-`ammah li Syuun al-Matabi`, h. 18.





[30] Diriwayatkan oleh Ibn `Asakir al-Dimasyqi(571 H), Tabyin Kadhib al-Muftari fi-ma Nusib ila al-Imam Abi Hasan al-Asy`ari, Beirut: Dar al-Kitab al-`Arabi, h. 150.





[31] Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi di dalam kitab, al-Asma’ Wa al-Sifat.





[32] Al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari (1987), al-ibanah `an Usul al-Diyanah, Dr Fuqiyah Husain Mahmud (ed), Kaherah: Dar al-kutub li al-Nasyr wa al-Tawzi`, h. 21.





[33] Al Imam Abu Mansur Al Maturidi(t.t), al-Tauhid, (t.tp): (t.p). h. 69.Lihat Selengkapnya



الله موجود بلا مكان الحمد لله و الصلاة و السلام على رسول الله قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( اللَّهمَّ أنت الأول فليس قبلك شـىء وأنت الأخر فليس بعدك شـىء وأنت الظاهر فليس فوقك شـىء وأنت الباطن فليس دونك شـىء ). قالَ الـحَافِظُ البَيْهَقي في كت...ابِ ألأسْماءِ والصِّفاتِ: إِسْتَدَلَّ بَعْضُ أَصْحابِنا في نَفْي ِ الـمكانِ عَنِ الله بِقَولِ النَّبيِّ صلّى الله ع...ليه وسلَّم ( أنتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَـىءٌ ، وأنتَ الباطِنُ فَلَيسَ دونَكَ شَـىءٌ ). وإذا لَم يَكُن فَوقَهُ شَـىءٌ ولا دونَهُ شَـىءٌ لَم يَكُن في مكان. قالَ الإمام الـحافِظ مُحيي الدِّين بن شرَف النوويّ الشافعيّ رحمهُ الله:" إنَّ الله َ تعالى ليسَ كمثلهِ شـىء ، مُنَزَّهٌ عن التجسيم والانتقال والتحيُّز في جهةٍ وعن سائرِ صفات الـمخلوق " . شرح صحيح مسلم ۳\۱۹ هذه عقيدتنا هذه عقيدة رسول الله صلى الله عليه وسلم وهذا ما جاء به القرءان يقول الله تعالى " ليس كمثله شيء وهو السميع البصير" الذي ليس كمثله شيء لا يشبه مخلوقا إذ لو كانت صفات البشر جائزة عليه لبطلت هذه الآية ولقيل كذب الله وهذا محال بل ومن أصدق من الله قيلا الله وصف نفسه بأنه لا يشبه الأشياء فهو لا يشبه البشر ولا يشبه الجن ولا يشبه الملائكة ولا يشبه القمر ولا يشبه الشمس ولا النار ولا النور ليس كمثله شيء فليس الله حجما كثيفا يضبط باليد كالحجر والشجر وليس هو جسما لطيفا لا يضبط باليد كالروح والريح فهو ليس حجما بالمرة لا هو في جهة فوق ولا في جهة تحت ولا في جهة شمال ولا في جهة أمام ولا في جهة خلف هو موجود بلا مكان هذا ما لم يفهمه المشبهة قالوا الله موجود إذا هو في مكان وهذا باطل إذ إن ما يحتاج للمكان هو الحجم وأما ربنا الغني عن كل شيء فلا يحتاج للمكان ولا لغيره سبحانه وتعالى عما يقول المشبهة علوا كبيرا. ثم ليعلم أن من شبه الله بخلقه فوصفه بالجلوس أو القعود أو الكون في مكان فقد كذب الله تعالى في قوله " ليس كمثله شيء " ومن كذب الله فهو الكاذب الكافر قال تعالى " ومن أظلم ممن افترى على الله كذبا أو كذب بآياته" ويلزمه أن يعتقد اعتقاد رسول الله ويترك تشبيه الله وينطق بالشهادتين فورا حتى يعود إلى دين الله تبارك وتعالى قال الامام أحمد بن حنبل رحمه الله : من قال ان الله جسم لا كالاجسام فقد كفر الوهابية ما فهموا هذه الاية الكريمة ليس كمثله شىء و قال شيخ الأزهر الشيخ الأستاذ سليم البشري: "من اعتقد أن الله جسم أو أنه مماس للسطح الأعلى من العرش وبه قال الكرامية واليهود وهؤلاء لا نزاع في كفرهم" ، نقله عنه الشيخ سلامة القضاعي العزامي في كتابه "فرقان القرءان قال الإمام المجتهد محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه إمام المذهب الشافعي (204 ص) ما نصه : " إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته " اهـ. [إتحاف السادة المتقين (2/ 24 و قال الحافظ ابن حجر في فتح الباري جزء 13 ص 416 باب قول الله تعالى تعرج الملائكة والروح اليه وقوله تعالى اليه يصعد الكلم الطيب ......وقال بن بطال غرض البخاري في هذا الباب الرد على الجهمية المجسمة في تعلقها بهذه الظواهر وقد تقرر ان الله ليس بجسم فلا يحتاج الى مكان يستقر فيه فقد كان ولا مكان وانما أضاف المعارج اليه إضافة تشريف ومعنى الارتفاع اليه اعتلاؤه مع تنزيهه عن المكان انتهى وخلطه المجسمة بالجهمية من أعجب ما يسمع قالَ الإمامُ أبو جَعفَرٍ الطَّحاوِيُّ الـمولودُ سنةَ ۲۲۷ هـ الـمتوفَّى سنة ۳۲۲ هـ: تعالى ( يعني الله ) عنِ الـحُدودِ والغاياتِ والأركانِ والأعضاءِ والأدواتِ ، لا تَحويهِ الـجِهاتُ السِّتُّ كسائرِ الـمُبتَدَعاتِ ( أي الـمخلوقات ). الـمحدود عند علماء التوحيد ما له حجمٌ صغيراً كانَ أو كبيراً. الذرَّة مَحدودة والعرشُ مَحدود والظلام والنورُ والريح كلٌّ مَحدودٌ. الـحدود: الله تعالى ليس له حدٌ والـحَدُ معناه نِهاية الشـىء. الغايات: جمع غاية ، والغاية ما ينتَهي إليه الشـىء. الأركان: الـجوانب الأعضاء: جمع عضو وذلك من خصائص الأجسام الأدوات: الأجزاء الصغيرة كاللسان والأضراس. الطحاوي هو من علماء السلف، قال في أول رسالته: "هذا ذكر بيان عقيدة أهل السنة والجماعة أي أن هذه هي عقيدة السلف من الصحابة والتابعين وأتباع التابعين في تنزيه الله عن المكان والجهة والجسمية، وكلام الطحاوي في غاية الأهمية فهو من علماء الحديث ومن علماء الفقه وهو حنفيّ أبضا. وهذه العقيدة تدرس في أنحاء الأرض في المعاهد والجامعات الاسلامية قال الامام علي رضي الله عنه: "ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته" رواه ابو منصور البغدادي في الازل لم يكن شيء مع الله. الله لا بداية لوجوده, كان الله ولم يكن شيء غيره , ما كان نور , ولا ظلام , ولا عرش , ولا سماء, ولا هواء و لا مكان و كان الله موجود و لم تكن هذه المخلوقات هذه الجهات الست ما كانت, ثم بعد أن خلق العرش والارض والسموات لم يحلّ فيها. الله تعالى موجود بلا مكان. قال اللهُ تعالى {ليس كمثله شىء . هذِهِ الآيةُ أصرح ءاية في كتابِ اللهِ تعالى في تنزيهِ اللهِ تعالى التنزيهَ الكليَّ عنْ مشابَهةِ المخلوقينَ، فما أوسع معناها، فيؤخذُ منها أنَّ اللهَ منزَّهٌ عنِ الحجمِ وعنْ أنْ يكونَ متحيّزًا في جهةٍ منَ الجهاتِ أو في كلّ الجهاتِ، فهو تعالى منزَّهٌ عنْ أنْ يكونَ فوقَ العرشِ، أو تحتَ العرشِ أو عنْ يمينِ العرشِ أو عنْ يسارِ العرشِ وهو تعالى منزَّهٌ عنْ صفاتِ الحجمِ كالحرَكةِ والسُّكونِ والتَّغيرِ والتَّحولِ منْ حالٍ إلى حالٍ ونحو ذلكَ. قالَ الإمامُ أبو حنيفةَ رضيَ اللهُ عنهُ :"أنَّى يشبِهُ الخالِقُ مخلوقَهُ"، أي يستحيلُ أنْ يشبِهَ الخالقُ مخلوقَهُ، فاللهُ تعالى لا يشبهُ خلقَهُ بوجهٍ منَ الوجوهِ. وقالَ الإمام مالكٌ رضيَ اللهُ عنهُ :"والكيف عنهُ مرفوع"، روى ذلك عنهُ الحافظُ البيهقيُّ بإسنادٍ جيّدٍ، ومعناهُ يستحيلُ على اللهِ الكيف بالمرَّةِ والكيفُ هو كل ما كانَ منْ صفاتِ المخلوقينَ كالجلوسِ والاستقرارِ والمحاذاة ونحو ذلكَ وممن نقل إجماع أهل الحق على تنزيه الله عن المكان الشيخ عبد القاهر بن طاهر التميمي البغدادي (429هـ)، فقد قال ما نصه: "وأجمعوا ـ أي أهل السنة والجماعة ـ على أنه ـ أي الله ـ لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان" اهـ. وقال الشيخ إمام الحرمين عبد الملك بن عبد الله الجُويني الشافعي (478هـ) ما نصه: "ومذهب أهل الحق قاطبة أن الله سبحانه وتعالى يتعالى عن التحيّز والتخصص بالجهات" اهـ. وقال المفسّر الشيخ فخر الدين الرازي (606هـ) ما نصه: "إنعقد الإجماع على أنه سبحانه ليس معنا بالمكان والجهة والحيّز" اهـ. وقال الشيخ إسماعيل الشيباني الحنفي (629هـ) ما نصه: "قال أهل الحق: إن الله تعالى متعالٍ عن المكان، غيرُ متمكِّنٍ في مكان، ولا متحيز إلى جهة خلافًا للكرّامية والمجسمة" اهـ. وقال سيف الدين الآمدي (631هـ) ما نصه: "وما يُروى عن السلف من ألفاظ يوهم ظاهرها إثبات الجهة والمكان فهو محمول على هذا الذي ذكرنا من امتناعهم عن إجرائها على ظواهرها والإيمان بتنزيلها وتلاوة كل ءاية على ما ذكرنا عنهم، وبيَّن السلف الاختلاف في الألفاظ التي يطلقون فيها، كل ذلك اختلاف منهم في العبارة، مع اتفاقهم جميعًا في المعنى أنه تعالى ليس بمتمكن في مكان ولا متحيّز بجهة" اهـ. وللشيخ ابن جَهْبَل الحلبي الشافعي (733هـ) رسالة ألَّفَها في نفي الجهة ردَّ بها على المجسم الفيلسوف ابن تيمية الحرَّاني الذي سَفَّه عقيدة أهل السنة، وطعن بأكابر صحابة رسول الله صلى الله عليه وسلم كعمر وعليّ رضي الله عنهما. قال ابن جَهْبَل ما نصه: "وها نحن نذكر عقيدة أهل السنة، فنقول: عقيدتنا أن الله قديم أزليٌّ، لا يُشبِهُ شيئًا ولا يشبهه شىء، ليس له جهة ولا مكان" اهـ. نقل الشيخ تاج الدين السبكي الشافعي الأشعري (771هـ) عن الشيخ فخر الدين بن عساكر أنه قال: "إن الله تعالى موجود قبل الخلق ليس له قَبْلٌ ولا بَعْدٌ، ولا فوقٌ ولا تحتٌ، ولا يمينٌ ولا شمالٌ، ولا أمامٌ ولا خَلْفٌ". ثم قال ابن السبكي بعد أن ذكر هذه العقيدة ما نصه: "هذا ءاخر العقيدة وليس فيها ما ينكره سُنّي" اهـ. ووافقه على ذلك الحافظ المحدّث صلاح الدين العلائي (761هـ) أحَد أكابر علماء الحديث فقال ما نصه: "وهذه "العقيدة المرشدة" جرى قائلها على المنهاج القويم، والعَقْد المستقيم، وأصاب فيما نزَّه به العليَّ العظيم" اهـ. قال الشيخ محمد مَيَّارة المالكي (1072هـ) ما نصه: "أجمع أهل الحق قاطبة على أن الله تعالى لا جهة له، فلا فوق ولا تحت ولا يمين ولا شمال ولا أمام ولا خلف"اهـ. وقال شيخ الجامع الأزهر سليم البِشْري (1335هـ) ما نصه: "مذهب الفرقة الناجية وما عليه أجمع السُّنّيون أن الله تعالى منزه عن مشابهة الحوادث مخالف لها في جميع سمات الحدوث ومن ذلك تنزهه عن الجهة والمكان" اهـ، ذكره القضاعي في "فرقان القرءان". قال الشيخ يوسف الدجوي المصري (1365هـ) عضو هيئة كبار العلماء بالأزهر الشريف في مصر ما نصه :"واعلم أن السلف قائلون باستحالة العلو المكاني عليه تعالى، خلافًا لبعض الجهلة الذين يخبطون خبط عشواء في هذا المقام، فإن السلف والخلف متفقان على التنزيه" اهـ. وقال أيضًا: "هذا إجماع من السلف والخلف" اهـ. وقال الشيخ سلامة القضاعي العزامي الشافعي (1376هـ) ما نصه: "أجمع أهل الحق من علماء السلف والخلف على تنزه الحق ـ سبحانه ـ عن الجهة وتقدسه عن المكان" اهـ. وقال المحدث الشيخ محمد عربي التبان المالكي المدرس بمدرسة الفلاح وبالمسجد المكي (1390هـ) ما نصه: "اتفق العقلاء من أهل السنة الشافعية والحنفية والمالكية وفضلاء الحنابلة وغيرهم على أن الله تبارك وتعالى منزه عن الجهة والجسمية والحد والمكان ومشابهة مخلوقاته" اهـ. وقد حذر رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل الأهواء بقوله :"وإنه س�
hasil copas dari blog tariqoh sarqubiyah

Jumat, 09 Desember 2011

cinta rosul

Hadits Shahih Bukhari: Para Sahabat Berebut Tangan Nabi SAW Sehabis Shalat & Pujian Kpd Beliau
October 18th, 2011 Sing Mbahurekso
kok masih ada orang bilang jabat tangan habis shalat itu bid’ah dan haram,mencium tangan beliau juga haram…

عَنْ الْحَكَمِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ
كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ وَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِِ
dari al Hakam ,aku mendengar abu juhaifah berkata :Suatu hari Nabi saw pergi di siang hari ke sebuah padang pasir maka beliau berwudhu dan melakukan shalat dzhuhur 2 raka’at ashar 2 raka’at sementara di depat beliau terdapat tongkat. Syu’bah berkata : ‘Aun menambahkan dari ayahnya ya’ni Abi Juhaifah ia berkata: para wanita lewat dari belakang tongkat itu kemudian orang-orang berdiri dan bergegas mengambil tangan beliau saw (bersalaman)dan mereka mengusapkan tangan beliau ke muka-muka mereka,Abu juhaifah berkata:kemudian aku ambil kedua tangan beliau dan aku letakkan di atas mukaku ternyata tangan beliau lebih sejuk daripada air salju dan lebih harum dibandingkan aroma misik

tahlil

Anjuran Untuk Tahlilan 7 Hari Berturut-turut
November 27th, 2011 Luqman Firmansyah
tahlilan00

Mengapa para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?

Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.

Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.

Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]

Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]

Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :

قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه

“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.

Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.

Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).

وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان

“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.

Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).

Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :

قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.

Sementara dalam riwayat lain :

عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا

“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.

Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.

Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.

Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).

Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;

ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.

(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).

Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

Wallahu A’lam.

[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).

[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.

[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.

[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.

[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.

[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.

(Dikutip dan di tata ulang seperlunya dari Abi Firas dan Ibn Abdillah Al-Katiby)

Template by : kendhin x-template.blogspot.com